Bahasa Sunda Klasik
Bahasa Sunda Klasik[3][4] atau Bahasa Sunda Peralihan[3] (juga disebut sebagai Basa Sunda Mangsa II atau dapat dialihbahasakan menjadi Bahasa Sunda Masa II)[5] adalah nama yang diberikan kepada sebuah bentuk transisi bahasa Sunda antara bahasa Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran dengan bahasa Sunda pada masa Kolonial Belanda. Bahasa Sunda Klasik mulai dipertuturkan dan digunakan dalam penulisan naskah-naskah pada abad ke-17 hingga abad ke-18 (sekitar 1600-1800 Masehi).[3] Bahasa Sunda Zaman Klasik (Peralihan) merupakan tahapan lanjutan dari bahasa Sunda Kuno.[6] Hal ini dapat dilihat di antaranya dalam naskah Carita Waruga Guru. Kosakata yang digunakan dalam naskah tersebut bukanlah kosakata yang arkais (kuno) sebagaimana terdapat dalam bahasa Sunda Kuno. Bahasa Sunda Klasik sangat dipengaruhi oleh bahasa Arab sebagai akibat dari menguatnya dominasi agama Islam pada masyarakat Sunda kala itu.[7] SejarahPra-Islam & ArabPengaruh Islam dan Arab setidaknya tidak pernah terefleksikan secara dominan dalam bahasa Sunda sebelum kerajaan Sunda (Pajajaran)—kerajaan bercorak Sunda-Hindu—runtuh pada tahun 1579. Masa kerajaan ini merupakan masa bahasa Sunda Kuno (Basa Sunda Mangsa I).[8] Pada waktu itu, bahasa Sunda Kuno merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat maupun orang-orang di lingkungan kerajaan untuk berkomunikasi satu sama lain dan digunakan dalam berbagai bidang, mulai dari bidang kenegaraan, keagamaan, kesenian, serta komunikasi bagi kepentingan kehidupan sehari-hari.[9] Agama Islam terlebih dahulu berkembang di wilayah tetangga Sunda, seperti di Sumatra dan di sebelah timur Sunda. Walaupun begitu, pada awal abad ke-16, negeri-negeri Islam telah dikenal oleh para penganut agama Hindu di Kerajaan Sunda. Setidaknya mereka memiliki wawasan geografis dan hubungan ekonomi dengan negara-negara luar. Pustaka Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang selesai ditulis pada tahun 1518 mengonfirmasi hal tersebut melalui isinya yang menunjukkan pengetahuan luas tentang wilayah geografis mancanegara (bahasa Sunda Kuno: paranusa) yang mencakup beberapa kawasan-kawasan di benua Asia, disebutkan pula adanya profesi duta bahasa yang disebut jurubasa darmamurcaya yang dituntut untuk menguasai berbagai bahasa asing, ini sesuai dengan uraian berikut:[10]
Dari uraian di atas, dapat dilihat pada nama-nama negeri dan kota yang dicetak tebal merupakan negeri dan kota Islam dan menjadi pusat penyebaran agama Islam.[12] Manuskrip lain dari masa Sunda Kuno yang menyebutkan wilayah Islam yaitu Pendakian Sri Ajñana, yang menyebutkan Buana Mekah, salah satu pusat dan kota suci bagi umat Islam sebagai tempat yang disinggahi oleh tokoh utama dalam teks tersebut tatkala mencari kekasihnya di Kahyangan, selengkapnya dapat dibaca pada kutipan berikut:[13]
Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bahwa kedudukan Mekah dan Siak (sebutan untuk orang-orang yang telah memeluk Islam) diposisikan bersama-sama dengan ruang pikiran masyarakat Sunda-Hindu.[14] Naskah Sunda Kuno bernuansa Hindu lain yang cukup terkenal, Sewaka Darma juga menyebutkan Banua Mekah sebagai tempat di kahyangan. Berikut adalah petikannya:
Dari pembahasan mengenai tiga naskah di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan mengenai Islam dan Arab telah masuk ke dalam khazanah masyarakat Sunda-Hindu, terutama dari kalangan agamawan, sehingga kedudukannya cukup mendapat tempat tersendiri, meski bukan sesuatu hal yang diutamakan.[16] Pasca-PajajaranJika pada bagian di atas telah dipaparkan mengenai Islam yang mendapatkan tempat istimewa dalam ruang batin masyarakat Hindu-Sunda, hal ini menemui titik balik tatkala Kerajaan Sunda (Pajajaran) menuju masa kehancuran. Kronik Carita Parahiyangan yang diperkirakan selesai ditulis pada tahun 1580 merekam peristiwa demi peristiwa peperangan yang selalu berakhir dengan kekalahan pihak Sunda dan negara-negara bawahannya atas pihak Islam. Berikut adalah rangkaian peristiwa yang terekam dengan dramatis:[17]
Terlihat dengan jelas dari rangkaian peristiwa di atas, səlam (Islam) dianggap sebagai ancaman dan musuh yang memunculkan perubahan yang membawa kesengsaraan.[18] Setelah kekuasaan diambil alih oleh Cirebon, maka kekuatan Islam dianggap menjadi legitimasi dan pewaris sah dari Hindu-Sunda. Korpus yang terdapat di Kabuyutan memberikan gambaran tentang pengambilalihan mitos-mitos Hindu untuk kemudian diislamkan, contoh nyatanya dapat dilihat dalam naskah Carita Waruga Guru yang menceritakan genalogis raja-raja yang dihubungkan dengan manusia pertama versi mitologi Abrahamik yaitu Adam. Dari Adam inilah diturunkan tokoh-tokoh yang terdapat dalam carita pantun seperti Ciung Manarah dan Hariang Banga yang menceritakan asal muasal Kerajaan Pajajaran. Ini berkesesuaian dengan bunyi naskah Ratu Pusaka di jagat paramodita, eta, kanyahoan Ratu Galuh, kərna bijil ti alam gaib, nya Nabi Adam ti həla.[19] Pencampuran kisah Adam dengan Ratu Galuh dalam satu kisah kemungkinan dilatarbelakangi oleh keadaan tidak terserapnya secara penuh ajaran Islam, terutama kepada penulis naskah itu sendiri.[20] Jika sebelumnya ada percampuran mengenai genealogis tokoh Islam dengan Sunda-Hindu, maka ada juga mitos baru yang muncul dari mitos lama yang kemudian dikemas kembali berdasarkan agama yang baru, contohnya mengenai kisah pemujaan masyarakat Nusa Jawa terhadap gunung. Lebih jelasnya perhatikan petikan berikut:[21]
Dari petikan di atas, tampaknya penulis ingin menegaskan bahwa batuan yang terdapat di gunung adalah sisa-sisa dari batu yang dihujamkan oleh malaikat yang murka terhadap kebiasaan penduduk yang musyrik. Dengan adanya mitos ini, kabuyutan akhirnya dilegitimasi oleh Islam, sehingga membuat para cendekia di kabuyutan pada masa selanjutnya mengalami perubahan iman.[23] PenggunaanKeruntuhan kerajaan Pajajaran membuat dimulainya periode transisi Hindu ke Islam yang membuat kosakata dalam bahasa Sunda pada masa itu mengalami perubahan, dari yang tadinya dibumbui dengan kosakata bahasa Sanskerta, menjadi digeser dan diisi oleh kosakata bahasa Arab, sehingga hal ini juga memengaruhi struktur bahasa Sunda itu sendiri.[24] Penggunaan bahasa Sunda kuno yang dikatakan masih bersih hanya dijumpai di lingkungan pedesaan yang masih setia menggunakan bahasa tersebut. Sementara itu, di lingkungan pesantren, bahasa Arab mulai tumbuh subur dan berkembang.[25] Selain dalam kosakata dan struktur bahasa, dampak perkembangan Islam juga terlihat dari sistem tulisan yang mulai digantikan oleh penggunaan abjad Pegon (Arab-Sunda)[26] dalam naskah-naskah Sunda pada masa selanjutnya.[3] Selama periode transisi ini, percampuran unsur Hindu dan Islam merupakan hal yang sangat lumrah dan dapat terasa sangat kuat, salah satunya dalam sebuah mantra bernama Pañukat Aji Cakra, yang berbunyi sebagai berikut:[27]
Mantra di atas menjelaskan tempat asal para makhluk mitologis yang dimuliakan yang ditulis berdasarkan arah mata angin, yang salah satu tempatnya adalah Mekah.[16] NaskahNaskah-naskah pada masa Sunda Klasik/Peralihan yang masih bertahan hingga kini jumlahnya tidak terlalu banyak sehingga dapat dikatakan sangat miskin akan sumber. Banyak di antara naskah-naskah Sunda Klasik berasal dari Kabuyutan, yang selain digunakan sebagai tempat peribadatan, juga difungsikan sebagai pusat pendidikan dan skriptorium. Jumlah naskah yang terselamatkan tidak lebih dari 100-an naskah, selain di Kabuyutan, beberapa tersimpan di perpustakaan dan museum. Dari seratusan naskah yang ada, sebagian besarnya belum dilakukan kajian filologis yang mendalam. Penelusuran dan inventarisasi serta penelitian termutakhir mendapatkan setidaknya sepuluh naskah yang baik secara parsial maupun secara total menggunakan bahasa Sunda dan semuanya menggunakan aksara Sunda Kuno yang dikatalogisasi oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).[28] Naskah-naskah tersebut adalah: Carita Waruga GuruKeberadaan naskah ini sudah tidak diketahui lagi dan telah hilang dari koleksi di Perpusnas sejak tahun 1990-an. Namun, Pleyte (1913) sempat menyunting dan mengusahakan naskah ini ke dalam bentuk faksimili bernomor KBG 74. Pleyte (1913) mengestimasi penggubahan naskah ini dilakukan antara tahun 1705-1709.[29] Wirid Nur MuhammadBahasa Sunda digunakan dalam naskah ini hanya pada bagian kolofon. Naskah ini bernomor KBG 75, berbahan daluang, dan menunjukkan ciri-ciri kodikologis yang menarik. Penulis atau Penyalin naskah ini adalah Kai Raga. Naskah disalin pada Wulan Mukaram Sukra Kaliwon (bulan Muharam hari Jumat Kliwon), kombinasi penanggalan Hindu dan Islam.[30] Doa Bacaan ShalatTeks yang berisi doa ini tergabung dengan teks-teks lain pada naskah lontar bernomor L 421, berisi 15 lembir dengan lempir terpanjang berukuran 38,3 x 3,2 cm, teksnya berbentuk puisi dan kondisinya masih dalam keadaan baik, hanya ada beberapa kerusakan kecil akibat serangga. Bahasa yang digunakan lebih didominasi oleh bahasa Arab daripada bahasa Sunda.[30] Pañukat Aji CakraDalam katalog, teks ini berada pada nomor L 421, meski berada pada satu koropak dengan teks Doa Bacaan Shalat, isi teksnya berbeda.[31] PakeliṅTeks Pakeliṅ terdapat dalam dua naskah lontar bernomor L 413 dan L 414. Keduanya berasal dari pemberian R.A.A. Kusumadiningrat, bupati Galuh periode 1839-1886. Teksnya berbentuk puisi yang setiap barisnya berjumlah delapan suku kata.[32] Teks ini membahas tentang syariat/hukum-hukum Islam, seperti yang tampak pada penggalan teks ini yaitu:
Secara keseluruhan, teks ini berisi petunjuk kepada manusia yang hendak menjalankan perintah Allah. Satu hal yang menarik, teks Pakeliṅ ditulis dengan pola delapan suku kata pada setiap barisnya, menunjukkan ciri yang mempertahankan pola pada teks-teks pra-Islam. Selain pada pola penulisan, ciri lain yang menunjukkan warisan Pra-Islam adalah konsep kosmologi yang digunakan, yaitu menekankan tiga jenis manusia utama yang perlu dimuliakan, yaitu ibu, ayah, dan guru. Pengarang teks tampaknya memperingatkan pembacanya agar selalu mena'ati ibu, menyucikan ayah, dan menuruti guru, seperti pada kutipan berikut ini:
Apabila hal di atas tidak dilakukan, maka menurut teks ini seseorang akan menemui nasib yang sial, tidak hanya ketika berada di dunia, melainkan juga akan terbawa hingga ke alam akhirat, umur sang pendosa akan pendek, rejekinya tertutup, mengalami kesengsaraan yang lama, menjadi budak di dunia, dan perjalanannya menuju surga akan terhalangi. Konsep neraka yang digunakan pada teks ini masih merujuk pada konsep dari agama Hindu (kawah), seperti pada bagian berikut:[35]
Jampe Sepi GəniTeks berada pada naskah nomor L 413 dan L 414. Teks berupa mantra pendek yang hanya terdiri dari 6 baris.[32] Jampe PaṅlokatanTeks berada pada naskah nomor L 413 dan L 414. Walau berada pada naskah bernomor sama, teks ini merupakan teks tersendiri yang berbeda dengan Jampe Sepi Gəni.[37]. Jampe Paṅlokatan berarti "mantra penyucian".[38] Asihan Sapu JagatTeks berada pada naskah nomor L 413 dan L 414. Teks berupa puisi asihan yang terdiri dari 31 baris.[39] Jampe Kana BəritTeks berada pada naskah nomor L 413 dan L 414. Teks berupa mantra yang terdiri dari 30 baris.[39] Jampe Bətari Solekat JatiTeks berupa mantra yang terdiri dari 51 baris.[39] Selain naskah-naskah di atas, Prawirasumantri (1990) juga menyebutkan karya-karya sastra yang lahir pada masa ini, di antaranya yaitu Babad Galuh (Carita Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa), Sajarah Gunung Galuh jeung Galunggung, dan Carita Nyi Lokatmala.[40] Galeri
ReferensiSitiran
Daftar pustaka
Pranala luarBahasa Sunda Klasik
Bahasa Sunda Umum
|