Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman iniKlasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Beberapa rumpun bahasa dimasukkan sebagai cabang dari dua rumpun bahasa yang berbeda. Untuk lebih lanjutnya, silakan lihat pembagian dari sub-rumpun Melayu-Sumbawa dan Kalimantan Utara Raya
Cari artikel bahasaCari berdasarkan kode ISO 639 (Uji coba)Kolom pencarian ini hanya didukung oleh beberapa antarmuka
Halaman bahasa acak
Bahasa Sunda pada masa Kolonial Belanda (basa Soenda atau basa Goenoeng, juga disebut sebagai basa Sunda Mangsa III atau bahasa Sunda Masa III)[3][4] adalah serangkaian tahapanbahasa Sunda di sekitar abad ke-19 (1800-1900), sebagai implikasi dari adanya pemerintahan Hindia-Belanda. Pada masa ini, bahasa Sunda mengalami perkembangan besar-besaran dari yang tadinya sebagai bahasa yang dianggap hanya digunakan secara lisan, menjadi bahasa yang mulai digunakan dalam media cetak dan menjadi bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah formal yang didirikan oleh pemerintah. Masa ini pula lah yang menjadi cikal bakal munculnya bentuk bahasa Sunda Modern yang ada pada saat ini.[5]
Peneliti mula-mula yang menaruh perhatian besar terhadap bahasa Sunda didominasi oleh orang-orang berkebangsaan Belanda, hal ini tidak terlepas dari kebijakan politik pada waktu itu yang menuntut serta mewajibkan tenaga kerja Eropa yang dibutuhkan sebagai pengelola perkebunan dan administrator—biasanya bertugas di wilayah Preanger (Parahyangan)—untuk menguasai bahasa Sunda. Diharapkan dengan kemampuan bahasa Sunda yang baik, para tenaga kerja Eropa ini dapat menjalin komunikasi yang lancar dengan masyarakat lokal yang utamanya bekerja sebagai buruh.[6]
Bahasa Sunda oleh banyak orang Eropa pada awalnya diasumsikan sebagai bahasa yang tidak memiliki tradisi tulis dan tidak mampu mengembangkan kesusastraannya sendiri, tetapi seiring berjalannya waktu, kenyataannya tidak menunjukkan demikian. Pendapat mengenai bahasa Sunda yang tidak memiliki budaya tulis menulis diungkapkan oleh banyak akademisi Eropa yang terpengaruh ide-ide romantisisme, dalam pandangan mereka, suatu kesusastraan haruslah berbentuk sebagai kumpulan karya yang kanon dan direpresentasikan melalui tradisi tulisan, pemikiran seperti ini berangkat dari anggapan bahwa keberadaan kesusastraan dalam budaya sebuah bangsa akan menjadi tolok ukur seberapa majunya peradaban bangsa tersebut, pandangan seperti inilah yang diharapkan oleh akademisi Eropa untuk dipaksakan terdapat dalam masyarakat Sunda yang berujung pada kegagalan. Banyak dari mereka yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa bahasa Sunda hanya bahasa yang semata-mata merupakan bahasa lisan dan nihil nilai sastra.[8]
Titik balik dari ketiadaannya tradisi tulis dalam kesusastraan Sunda muncul ketika mulai ditemukannya manuskrip-manuskrip berbahan lontar Sunda pra-kolonial yang berasal dari abad ke-17 sampai 18 di desa terisolasi Ciburuy pada tahun 1865, penemuan ini mematahkan asumsi para akademisi Eropa yang juga menyebut bahwa tradisi penulisan dan aksara Sunda telah hilang sama sekali.[9] Selain oleh akademisi Eropa, pada tahun yang sama (1865), pencarian peninggalan naskah Sunda Kuno juga dilakukan oleh Raden Saleh yang mendapatkannya dari Gunung Cikuray, tidak jauh dari Desa Ciburuy. Naskah-naskah tersebut diserahkan oleh sosok yang ia klaim sebagai Kai Raga, yang diketahui sebagai pemimpin keagamaan di pertapaan di gunung yang sama. C.M. Pleyte yang melakukan penelusuran mengenai sosok Kai Raga ke Ciburuy pada tahun 1904 menemukan fakta bahwa Kai Raga tidak merujuk pada nama perseorangan, melainkan merupakan sebuah gelar yang dipakai oleh para pelanjut tradisi penulisan lontar yang masih terpengaruh budaya sastra masa Hindu-Budhha. Pada tahun yang sama juga, Pleyte mendapatkan informasi dari kepala desa setempat bahwa dahulu Gunung Cikuray dikenal sebagai Sri Manganti, berasal dari nama kampung yang ada di lereng gunung tersebut, walaupun kampung tersebut sudah ditinggalkan dan keberadaan pertapa yang tinggal di sana sudah tidak dapat diingat lagi oleh masyarakat sekitar. Sosok yang ditemui oleh Raden Saleh adalah keturunan atau lebih tepatnya cucu Kai Raga yang keberadaannya selepas tahun 1856 sudah tak dapat dilacak dan diyakini Pleyte bahwa orang tersebut telah meninggal tanpa memiliki keturunan.[10]:84-85 Manuskrip-manuskrip yang dinisbatkan kepada Kai Raga dan Gunung Sri Manganti di antaranya adalah Carita Ratu Pakuan (Koropak 410 & 411), Carita Purnawijaya (Koropak 416 & 423) dan Kawih Paningkes (Koropak 420).[10]:79 Ada pula naskah berjudul Carita Waruga Guru yang diperkirakan juga ditulis atau disalin oleh Kai Raga dan menjadi naskah termuda yang menurut Pleyte ditulis antara tahun 1705-1709.[11]:10
Koloni Persatuan Perusahaan Hindia Timur
Sebelum pemerintahan Hindia Belanda dikuasai dan dikontrol secara langsung dan secara penuh oleh Pemerintah Belanda pada 31 Desember1799[a] (kontrol masih dipegang oleh Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda/VOC) dan jauh sebelum para akademisi Eropa memfokuskan diri dalam penelitian bahasa Sunda, kemunculan nama bagi bahasa Sunda sendiri sudah terdokumentasikan dalam karya Herbert de Jager, seorang sarjana Belanda yang hidup pada tahun 1636-1694, ia menyebut bahasa Sunda sebagai Zondase taal.[12][13] Kemudian, melangkah lebih jauh lagi, masih pada masa VOC, usaha pencatatan dan pendokumentasian bahasa Sunda yang lebih komprehensif telah dilakukan oleh seorang linguis bernama Josua Van Iperen dalam artikelnya yang dipublikasikan pada tahun 1780. Ia memuat perbandingan sebuah sampel teks multibahasa antara bahasa Sunda yang ia tuliskan sebagai Sundase of Berg-taal (bahasa Sunda atau bahasa Gunung)[b] dengan terjemahan bahasa Belanda.[14] Pada halaman selanjutnya ia juga menyertakan tabel inventarisasi kosakata dasar bahasa Sunda, mulai dari kata benda seperti:
Pada masa jeda kekuasaan di bawah kontrol Inggris/Britania tahun 1811-1816, tentu saja orang berkebangsaan Inggris ikut andil dalam studi lanjut mengenai kebudayaan lokal. Thomas Stamford Raffles, lieutenant-governor (Gubernur Jenderal) kala itu, dalam lampiran pada bukunya yang terbit tahun 1817, ia membuat perbandingan berbagai kosakata bahasa pribumi, termasuk bahasa Sunda, ia melampirkan kosakata yang berkaitan dengan alam, manusia, hewan, mineral, pakaian, makanan, rumah, kebun, pertanian, pertahanan, pemerintahan, agama, pengukuran, musik, ilmu pengetahuan, waktu dan siklus, angka, adjektiva, verba, pronomina, hingga partikel dan idiom serta kata majemuk.[16] Tak kalah dengan usaha Raffles tersebut, tiga tahun kemudian John Crawfurd, dokter berkebangsaan Skotlandia berhasil menuntaskan karyanya berupa buku yang berjudul History of the Indian Archipelago (1820). Di dalam buku tersebut, ia sedikit menyinggung dan membahas mengenai keberadaan bahasa Sunda.[17] Sama seperti yang telah dilakukan oleh Raffles, Crawfurd juga membuat perbandingan antar bahasa termasuk bahasa Sunda,[18] bahkan perbandingan yang ia buat dapat dikatakan lebih luas cakupannya karena ia juga menyertakan bahasa-bahasa seperti bahasa Rote hingga bahasa Madagaskar yang ia sebut sebagai anggota dari rumpun bahasa Polynesian dan Great Polynesian.[19][20]
Dua hasil pekerjaan Raffles dan Crawfurd di atas sangat berguna bagi para sarjana-sarjana Belanda pada masa sesudahnya.[21]
Koloni Kerajaan Belanda
Sejak tahun 1818, pemerintah kolonial Belanda mulai menggalakkan penyebaran pengetahuan mengenai bahasa-bahasa pribumi yang ada di Hindia Belanda kepada para pemukim asal Eropa agar mereka bisa menguasai dan menuturkannya secara lancar dengan dasar hukum Regeringsreglement van 1818 pasal 100, aturan tersebut kemudian diperbarui agar hanya berlaku untuk para pegawai bangsa Eropa saja dengan Regeringsreglement van 1827.[c][22] Bahasa Sunda sendiri mulai disadari keberadaan pentingnya oleh Andries De Wilde, seorang tuan tanah di Sukabumi. Ia mulai mempelajari dan kerap mempraktekkan kemampuan berbahasa Sundanya itu sejak tahun 1813-1821. Dalam bukunya, ia menuliskan pengalamannya berbicara bahasa Sunda kepada para pekerja lokal yang hendak meminum kopi. Ia menulis:"Pada awalnya saya tak melihat apa yang mereka konsumsi. Lalu saya tanyalah kepada mereka dalam bahasa Sunda, apa yang sedang dilakukan oleh mereka?" Mereka menimpalinya kembali dengan bahasa Sunda:"Ukur ngopi kaula nun" (Hanya sedang meminum kopi, Tuan!).[d][24] Keseriusan Wilde dalam memperhatikan kondisi bahasa Sunda terus berlanjut hingga ia berhasil menyusun kamus Sunda-Belanda, kamus ini ia susun berdasarkan kosakata yang ia senaraikan selama ia diangkat menjadi pengawas budidaya kopi sejak 1808 di Parahyangan, ia rajin mempelajari adat istiadat dari masyarakat setempat. Senarai kosakata yang telah ia kumpulkan ini kemudian ia bawa ke Belanda, atas dorongan J.F.C. Gericke dan dengan bantuan serta pengawasan Taco Roorda, seorang ahli bahasa-bahasa Ketimuran paling masyhur di Belanda, ia menerbitkan senarai kosakata tersebut ke dalam bentuk kamus yang berjudul Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek: benevens Twee Stukken tot Oefening in Het Soendasch pada tahun 1841 yang juga di dalamnya terdapat pengantar oleh Roorda.[25]
Selain Wilde, masih banyak lagi para pengelola perkebunan yang mempunyai minat tinggi terhadap bahasa Sunda, beberapa di antaranya adalah Jonathan Rigg dan Karel Frederik Holle. Rigg bertugas di daerah Jasinga, Bogor. Sementara itu, Holle bertugas di Cikajang, Garut. Rigg yang berkebangsaan Inggris menjadi pelopor dalam penyusunan kamus Sunda-Inggris setelah kamus yang ia beri judul A Dictionary of the Sunda Language of Java pertama kali terbit pada tahun 1862. Kamus tersebut menjadi salah satu kamus dengan entri yang cukup kaya, yaitu berisi sebanyak 9.308 lema. Alasan Rigg menyusun kamus tersebut karena adanya dorongan dari sayembara yang diadakan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (disingkat BGKW), sebuah lembaga kebudayaan yang berpusat di Batavia. Lewat sekretarisnya, Pieter Mijer, pada 9 Oktober 1843 BGKW mengadakan sayembara penyusunan kamus baru mengenai bahasa Sunda yang diharapkan dapat lebih baik dari karya Wilde sebelumnya. Sayembara tersebut berhadiah sebesar 1.000 gulden dengan tambahan medali emas senilai 300 gulden. Naskah awal susunan Rigg pertama kali diterima BGKW pada tahun 1854 yang selanjutnya dibukukan oleh Lange & Co di Batavia. Usaha yang ditempuh Rigg selama penyusunan kamusnya tersebut melewati berbagai metode, salah satunya adalah dengan mengambil sumber dari Bupati Cianjur ke-10, R.A.A Kusumahningrat alias Dalem Pancaniti yang membuat senarai kosakata Sunda—utamanya dari Parahyangan Barat—berdasarkan tingkatannya (lemes sampai cohag) yang disebut sebagai Paririmbuan-ketjap. Sebagai tokoh terkemuka di Jasinga, Rigg juga mempunyai relasi yang baik dengan Raden Nata Wireja, seorang Demang Jasinga. Relasi ini ia manfaatkan untuk menambah wawasannya mengenai perbendaharaan kata bahasa Sunda, terutama di daerah Jasinga. Rigg juga sempat mengundang salah seorang juru pantun berjuluk Ki Gembang dari Bogor, untuk melantunkan carita pantun antara tahun 1847, 1848, dan 1850.[26]
Bilamana usaha Rigg dalam menunjukkan perhatiannya terhadap bahasa Sunda ditujukan dengan menyelesaikan kamus Sunda-Inggris, maka tokoh selanjutnya yang patut diperhitungkan usahanya adalah Holle, usaha serta jasanya dianggap melampaui dari apa yang telah dikerjakan oleh peneliti lain. Tak tanggung-tanggung, Holle selain mempelajari kesundaan melalui bahasa, ia juga paham betul-betul adat serta kebiasaan masyarakat Sunda, sehingga beberapa sumber menyebutkan ia sudah dapat dianggap sebagai penduduk asli bagi orang Eropa. Masyarakat Sunda sendiri pada waktu itu memandang Holle sebagai pemimpin dan memberikannya gelar Sayid Muhammad bin Holle. Bagaimana tidak, dedikasinya terhadap orang Sunda tidak semerta-merta karena kepentingan pribadi, melainkan karena pemikirannya yang hendak memanusiakan orang Sunda dan memberdayakannya menjadi masyarakat yang menerapkan hukum penawaran dan permintaan (homo economicus). Kajian Holle mengenai bahasa Sunda dimulai ketika ia ditugaskan menjadi "pegawai pelaksana penyusunan buku pelajaran bahasa Sunda" atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai ambtenaar belast met de samenstelling van Soendasche leerboeken pada tahun 1859. Dengan dibantu salah seorang penghulu lokal di daerah Limbangan (kini Kabupaten Garut) bernama Muhammad Musa yang telah ia kenal sejak 1857.[27][28]
Dari deskripsi di atas, dapatlah diketahui bahwa usaha Holle membuat bahasa Sunda menjadi maju, karena ia adalah perintis tradisi penulisan bahasa Sunda dalam media cetak. Holle bersama Musa dan beserta rekan-rekannya seperti Patih Limbangan Adi Widjaja dan mantan Patih Galuh Brata Widjaja sekurang-kurangnya telah menghasilkan 13 judul buku, selain itu Holle juga ikut andil dalam pengawasan sebanyak 23 judul buku berbahasa Sunda sepanjang dekade 1860-an. Holle juga mempunyai murid-murid, beberapa di antaranya adalah anak Musa, seperti Lasminingrat, Lenggang Kentjana, Soeria Nata Ningrat, dan Kartawinata.[29] Kartawinata sebagai murid terdekat Holle berhasil menyusun buku yang berisi contoh-contoh percakapan yang ditulis secara dwibahasa, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Belanda yang berjudul Soendasch-Hollandsche Samenspraken atau Pagoenĕman Soenda djeung Walanda (1883) dan berisi pengantar dari Holle.[30] Buku tersebut menjadi pegangan bagi orang-orang Belanda yang hendak belajar bahasa Sunda hingga mendekati penutur asli karena penulisan dalam buku tersebut dilengkapi dengan tanda baca yang akan menggambarkan bagaimana nuansa percakapan Sunda yang sesungguhnya hingga orang asing yang membacanya bisa meniru aksen atau logat Sunda yang sesuai, buku ini kelak menjadi inspirasi bagi buku panduan lainnya bagi orang Eropa pasca tahun 1900-an.[31][32]
Pada awal tahun 1900-an, bentuk tradisi tulis Sunda mulai mengalami perubahan, dari yang sebelumnya didominasi oleh Wawacan, selanjutnya banyak digantikan oleh novel (roman).[33] Transisi dari sastra Sunda Modern Awal menuju sastra Sunda Modern dimulai dengan hilangnya porsi Wawacan dan tulisan-tulisan tradisional yang dianggap tidak cocok lagi dengan pemodernan karena bentuknya yang terikat dengan aturan-aturan tertentu yang berfokus pada intonasi, rima, dan penuh dengan majasmetafora.[34] Penerbitan wawacan berangsur-angsur menurun, terhitung sejak dekade 1910-an, ada 13 judul wawacan yang dihasilkan, 30 judul pada dekade 1920-an, menurun menjadi hanya 10 judul pada dekade 1930-an, hingga pada dekade 1940-an tidak ada satu pun judul yang dihasilkan.[35]
Ketika Commissie voor de Volkslectuur didirikan pada tahun 1908, perannya dengan cepat memengaruhi gaya kepenulisan dalam bacaan-bacaan yang dihasilkan, ide-ide baru dari Eropa mulai diadaptasi ke dalam bahasa lokal. Daeng Kanduruan Ardiwinata yang kelak akan menjadi pengarang pertama yang menulis novel dalam bahasa Sunda, pada saat itu menduduki posisi sebagai kepala seksi untuk bagian bahasa Sunda. Terjemahan karya-karya Eropa yang berbentuk prosa mulai diproduksi. Melalui terjemahan-terjemahan inilah, roman dan novel akhirnya diperkenalkan dan mendapat perhatian lebih sehingga sedikit demi sedikit mulai menggantikan tulisan-tulisan sebelumnya karena memiliki gaya tulisan yang cenderung realis. Novel/roman dalam bentuk prosa berbahasa Sunda sendiri mulai bermunculan sejak tahun 1910.[36]
Puncaknya, karya prosa pertama dalam bahasa Sunda berbentuk novel yang berjudul Baruang ka noe Ngaroera karangan Daeng Kanduruan Ardiwinata diterbitkan oleh percetakan G. Kolff & Co. di Weltevreden pada tahun 1914, hal ini menandai masuknya perkembangan bahasa dan kesusastraan Sunda ke dalam fase modern.[37]
Dialek
Pencatatan dan pengkajian mengenai variasi bahasa Sunda berdasarkan wilayah atau dialek sudah disadari oleh para akademisi Eropa sejak masa ini. Dialek yang cukup didokumentasikan dengan baik adalah bahasa Sunda dialek Banten atau lebih tepatnya dialek Banten-Selatan (termasuk bahasa Badui), sesuai dengan nama Belandanya Zuid-Bantĕnsch dialect yang difokuskan penelitiannya oleh J.J. Meijer, seorang mantan kontroleur (kepala Onderafdeling) Goenoeng Kantjana, Afdeeling Lĕbak, Bantam Regentschappen. Ia tergugah semangat untuk mengkaji dialek Banten setelah menerima tantangan dari S. Coolsma.[38] Selain dialek Banten, J.J. Meijer juga sempat menyinggung dialek-dialek bahasa Sunda lainnya yang mungkin bisa dikaji lebih lanjut oleh akademisi lain, seperti Buitenzorg (Bogor), Djampangsch (Jampang), dan Krawangsch (Karawang).[39]
Perbedaan antara dialek bahasa Sunda di Keresidenan Priangan (Preanger Regentschappen) dengan bahasa Sunda di Banten selatan tidak terlalu jauh seperti yang dibayangkan.[40] Beberapa kosakata yang dalam dialek Preangersche menggunakan vokal i dengan vokal selanjutnya u, dalam Zuid-Bantĕnsch menjadi a, seperti contohnya antjoe (ancu), andjoek (anjuk), patjoeng (pacung), taloe (talu), batoeng (batung), ajoeh (ayuh), andoeng (andung), tamoe (tamu), tawoean (tawuan), panoeh (panuh), ranjoeh (ranyuh) untuk intjoe (incu), indjoek (injuk), pitjoeng (picung), tiloe (tilu), bitoeng (bitung), ijoeh (iuh), indoeng (indung), timoe (timu), tiwoean (tiwuan), pinoeh (pinuh), rinjoeh (rinyuh).[41]
Ada juga perbedaan pada peletakan konsonan, misalnya:[41]
Raffles memperkirakan jumlah penutur bahasa Sunda pada tahun 1815 sebanyak satu per sepuluh (1/10) dari jumlah penduduk Pulau Jawa,[44] sensus terhadap pulau Jawa yang ia hasilkan menunjukkan angka 4.322.031 jiwa.[45]Moriyama skeptis dengan kesimpulan Raffles ini karena Raffles melakukan simplifikasi pada saat penghitungan dan kebingungan ketika membaca peta bahasa, ia menganggap Raffles hanya menghitung penutur bahasa Sunda yang berada di wilayah dataran tinggi (wilayah Priangan) dan mengabaikan wilayah lainnya. Berbekal data yang penelitian terbaru,[46]:105 Moriyama melakukan estimasi ulang dengan turut serta menghitung setengah populasi penduduk di Keresidenan Cirebon. Menurut kalkulasi terbaru yang telah didapatkan, pada tahun 1815 populasi di wilayah penutur bahasa Sunda (Banten, Bogor, Karawang, Priangan, dan sebagian Cirebon) mencapai 681.782 jiwa.[47]
Estimasi Raffles diulangi oleh Crawfurd dalam laporannya, ia menuliskan:
The Sunda is the language of the mountaineers of the western part of Java, of perhaps one-third of the area of the island, but, in round numbers, probably of not more than of one-tenth of its inhabitants. (Bahasa Sunda adalah bahasa para pemukim pegunungan di bagian barat Pulau Jawa, yang luasnya mungkin sepertiga dari luas pulau ini, tetapi, jika dikumpulkan, mungkin tidak lebih dari sepersepuluh penduduknya.)
Penulisan bahasa Sunda di masa ini menggunakan alfabet latin (Aksara Walanda) dengan banyaknya ketidakkonsistenan pada masa awal pengenalan. Masalah seringkali muncul ketika huruf vokal "eu" (Vokal tengah madya panjang/schwa) hendak direpresentasikan. Perbedaan latar belakang tiap penulis di media cetak membuat banyaknya transliterasi yang hanya mengandalkan persepsi lisan saja tanpa adanya pertimbangan yang lebih lanjut. Holle pertama kali merumuskan sistem ejaan (bahasa Sunda Modern Awal: cacarakan, bahasa Sunda Modern: éjahan) bahasa Sunda pada bukunya yang berjudul Kitab tjatjarakan Soenda, terbit tahun 1862. Buku ini kemudian menuai kritik, salah satunya datang dari Koorders. Ia menyarankan agar schwa panjang dilambangkan menggunakan "eu", sedangkan schwa pendek menggunakan "e". Peneliti lain juga menawarkan opsi alternatif, seperti yang diberikan oleh Grashuis, seorang misionaris dari Nederlandsch Zendeling Genootschap, ia membuat terobosan ortografi baru, yang menggunakan "u" untuk merepresentasikan schwa panjang.[49]
Setelah melewati berbagai proses perancangan dan pemutusan. Akhirnya sistem transliterasi sekaligus ortografi karya Holle diratifikasi oleh pemerintah kolonial pada tahun 1871. Kebijakan ini berimplikasi pada percetakan buku berbahasa Sunda yang pada akhirnya dapat mempertahankan keteraturan, karena lembaga pemerintah untuk urusan percetakan seperti Landsdrukkerij selalu mengikuti arahan dan rekomendasi dari Holle. Hingga pada akhirnya, para intelektual Sunda melalui penerbit Balai Pustaka pada tahun 1912 menerbitkan Palanggĕran Noeliskeun basa Soenda koe Aksara Walanda sebagai buku pegangan para pelajar di sekolah-sekolah.[50]
Perbandingan
Berikut adalah perbandingan beberapa ortografi yang pernah digunakan untuk menulis bahasa Sunda dari berbagai literatur mengenai leksikografi.
Karena sistem yang paling banyak disetujui untuk ortografi bahasa Sunda (tjatjarakan Soenda) pada masa ini adalah hasil usaha Holle, maka keterangan di bawah ini merujuk pada deskripsi Holle (1876).[165]
Untuk vokal pada posisi tengah maupun akhir yang didahului oleh glottal stop/hamzah (/ʔ/(simakⓘ)) atau juga dapat dipahami sebagai dua vokal yang bertemu, maka pada huruf vokal kedua dapat dituliskan dengan menambahkan diaresis (titik dua di atas huruf), semisal pada kata heës /heʔɛs/ ataupun hoë /hɔwe/.[170]
Manehna koe koela bakal dikiriman doewit. = Ik zal hem geld zenden. = Saya akan mengiriminya uang.
Lamoen Toewan Rĕsiden soemping, tangtoe koe koela geus dikirimkeun = Wanneer de resident thuis komt, zal ik het reeds gezonden hebben. = Jika Tuan Residen datang, tentu sudah kukirimkan.
Panon powe njaängan boemi. = De zon verlicht de arde. = Matahari menyinari bumi.
Andjing paraban. = Geef de honden te eten. = Beri makan anjing.
Kalamna koe maneh geus diomean deui? = Hebt gij de pennen al vermaakt? = Apakah engkau sudah mengisi pena?
Eta gĕlas-gĕlas tjitjian deui. = Schenk die glazen nog eens vol. = Tuangkan gelas-gelas itu lagi.
Menak-menak geus disoeratan, koedoe noeroetkeun pisan sakoemaha dawoehan Toewan Kontroleur. = De hoofden zijn aangeschreven, de bevelen van den kontroleur stipt op te volgen = Para petinggi telah diberitahu untuk mengikuti perintah pengawas sesuai dengan surat tersebut.
Literatur
Sebagai akibat dari modernisasi bahasa Sunda dalam media cetak, bermunculanlah karya-karya sastra yang pada abad ke-19 jenis yang paling banyak digemari adalah Wawacan. Walaupun demikian, pada masa-masa selanjutnya, juga bermunculan jenis karya sastra lain yang mulai diproduksi menggunakan bahasa Sunda. Dalam rentang periode sekitar tahun 1849-1908, setidaknya ada 222 judul buku-buku berbahasa Sunda yang dicetak oleh Landsdrukkerij di Batavia atau dikenal dengan nama lokalnya dalam bahasa Sunda sebagai Kantor Tjitak Kangdjĕng Goepĕrnĕmen di Batawi, setelah tahun 1908, penerbitan buku berbahasa Sunda diambil alih oleh Commissie voor de Inlandsche School- en Volkslectuur atau yang kini dikenal sebagai Balai Pustaka.[178]
Beberapa buku, baik itu buku baru, saduran, maupun terjemahan yang sebagian besar dipublikasikan oleh Landsdrukkerij judul-judulnya yaitu:[179][180][181][182]:10-11
Bahasa
Kitab Pangadjaran Basa Soenda (1849/1850) oleh K.F. Holle[183]
Soendasche modellen van verschillende brieven / Kitab Tjonto-tjonto Soerat Pikeun Moerangkalih Anoe Iskola (1861) oleh K.F. Holle[184]
Boekoe batjaän: Pikeun Moerid-moerid dina Pangkat Panghandapna di Iskola Soenda (1883) oleh H.A. de Nooij[185]
Boekoe Batjaän Salawe Toeladan Pikeun Moerid-moerid Pangkat Panghandapna di Sĕkola Soenda (1898) oleh Willem van Gelder[186]
Susastra
Tjarita Koera-Koera djeung Monjet (1851) oleh K.F. Holle[187]
Kitab Noedoehkeun Ngelmoe Itoengan (1867) oleh Kartawinata[215]
Boekoe Pĕtjahan Itoengan Bener (1894) oleh van Haastert[216]
Kearsipan
Kitab Tjonto-tjonto Soerat Anjar (Nieuw brievenboek voor de Soendasche scholen) (1876) oleh Kartawinata & K.F. Holle[217]
Historiografi
Geschiedenis van de Soenda-landen (1880) oleh J.A. van der Chijs & Karta Winata[218]
Medis
Wawatjan Piwoelang Panoelak Panjakit Kolera (1897) oleh Djajadiningrat[219]
Pengaruh asing
Bahasa Sunda pada masa ini tentunya menyerap banyak kosakata dari bahasa-bahasa Eropa, dalam hal ini didominasi oleh bahasa Belanda yang biasanya mencakup kosakata yang berkaitan dengan konsep-konsep yang baru dikenalkan pada masa kolonial dan sebelumnya tidak ada padanannya dalam bahasa Sunda. Contoh-contoh kosakata serapan dari bahasa Belanda tersebut bisa ditemukan dalam berbagai naskah, beberapa contoh di antaranya yaitu.[220]
Sampel teks diambil dari buku Dongeng-dongeng Pieunteungeun (1867).[197]:5
Aja garoeda tarik pisan panjambĕrna anak ĕmbe, diranggeum toeloej bae dibawa ngapoeng. Dina mangsa harita aja manoek gagak njahoeun, kabitaeun pisan njeueung tingkahna garoeda teja, pikirna gagak teh: Naha kami lamoen noeroetan tjara kitoe, mowal katoeroetan? Ari geus ngomong kitoe, gagak teh nendjo ĕmbe badot, gagak hibĕr moeloek pisan, ari ti loehoer monteng ka handap tjara garoeda, gĕproek gagak teh njambĕr kana ĕmbe badot sarta diranggeum. Barĕng rek dibawa hibĕr, soekoena kapoekĕt koe boeloe soesoeri ĕmbe; geus teu bisa hibĕr, kaboro koe noe ngangon, gantjang gagak teh ditjĕkĕl diteukteukan djangdjangna, toeloej dibikeun ka anakna, dipake karĕsĕpan boedak. Tjarek anakna noe hidji: Bapa eta manoek naon? Tjarek bapana: ljeu manoek teh hajangeun bisa noeroetan garoeda, tapi saäjeuna tetela jen manoek gagak.
Hartina: oelah wani-wani njorang sagala kalakoean, noe teu pikadjoengdjoengeun koe awak maneh atawa koe tanaga maneh, sabab taja noe pinoeloengeun katiwasan djeung wiwirang maneh kadjaba boedi maneh, noe koedoe ngira-ngira ngoekoer ka koedjoer nimbang ka awak.
— Moesa 1867:5, Manoek Garoeda Djeung Gagak
Galeri
Wawatjan Woelang Moerid (1863)
Wawatjan Pĕtikan Bidajatoessalik (1863)
Wawatjan Dongeng-dongeng Toeladan (1865)
Tjarijos para nabi: ditoekil tina kitab Pĕrdjangdjian Lawas (1892)
^Anggapan bahasa Sunda sebagai berg taal atau 'bahasa gunung' muncul dari kalangan orang Belanda yang melihat banyak masyarakat Sunda tinggal di dataran tinggi
^Regeringsreglement ialah konstitusi yang memuat peraturan pokok mengenai kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang bersumber pada Gubernur Jenderal sebagai penguasa tunggal dan tertinggi di pusat pemerintahan. Ia juga dapat disepadankan dengan UUD pada masa sekarang.
^Dalam versi aslinya pada bukunya yang berbahasa Belanda, Wilde menulis dengan ejaan sebagai berikut: "ukker ngoppie kawoela noehn" yang ia terjemahkan menjadi "wij drinken koffij, Mijnheer!"[23]
^De Nooij, H.A. (1883). Boekoe batjaän pikeun moerid-moerid dina pangkat panghandapna di iskola Soenda. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC67991849.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Van Gelder, W. (1898). Boekoe Batjaän Salawe Toeladan Pikeun Moerid-moerid Pangkat Panghandapna di Sĕkola Soenda. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC902837646.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Holle, K.F.; Holle, A.W. (1851). Tjarita Koera-koera djeung Monjet. Batavia: Lange en Co.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Danoekoesoemah (1862). Wawatjan Radja Darma. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC221005651.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Holle, K.F. (1861). Katrangan Tina Prakawis Mijara Laoek Tjai. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC499961330.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Oemar, M (1866). Wawatjan Katrangan Miara Laoek Tjai. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC499961257.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Moesa, M. (1862). Woelang-Tani. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC257755114.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Kartawinata; Holle, K.F. (1874). Mitra noe Tani. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC881561808.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Van Haastert, C.J. (1894). Boekoe Pĕtjahan Itoengan Bener. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC251389095.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Van Der Chijs, J.A.; Kartawinata (1880). Geschiedenis van de Soenda-landen. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC906557772.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Djajadiningrat (1897). Wawatjan piwoelang panoelak panjakit Kolera. Batavia: Landsdrukkerij. OCLC67626961.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Bantenologi, Laboratorium (2015). "Kamus Basa Sunda Pertama dari Banten: Sejarah Kamus Basa Sunda Abad ke-19". Kawalu. 2 (2): 192–194. doi:10.32678/kawalu.v3i2.768.
Cantini, C. (2018). "Habitus dan Modal Daeng Kanduruan Ardiwinata di Arena Kesusastraan Sunda Modern". Sawerigading. 24 (2): 197–208. doi:10.26499/sawer.v24i2.523.
Marsila, P. (2019). "Transformasi Sastra Sunda Modern pada Abad ke-19 sampai 20 M". Historia Madania: Jurnal Ilmu Sejarah. 3 (1): 35–52. doi:10.15575/hm.v3i1.9394.
Meijer, J.J. (1890). "Bijdrage tot de Kennis van het Bantĕnsch Dialect der Soendaneesche Taal". Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde van Nederlandsch-Indië. Brill. 39 (2): 222–261. JSTOR25737228. OCLC227324801.
Moriyama, M. (1996). "Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java". Southeast Asian Studies. 34 (1): 151–183. doi:10.20495/tak.34.1_151. OCLC957809318.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
——— (2000). "Moehamad Moesa, print literacy, and the new formation of knowledge in nineteenth-century West Java". Indonesia and the Malay World. 28 (80): 5–21. doi:10.1080/13639810050006503. OCLC4893586159.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Sadono, S.; Pandanwangi, B.; Laksani, H. (2023). "Pengajaran Bahasa Sunda di Priangan Awal Abad ke-20". Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia. 6 (1): 1–18. doi:10.17977/um0330v6i1p1-18.
Berge (2021) [1993]. Puisi Sunda Zaman Belanda. Diterjemahkan oleh Setiawan, H. Garut: Layung.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)