Selama pandemi, ketahanan pangan menjadi perhatian global. Hal itu tampak pada adanya beberapa peringatan kelaparan pada kuartal kedua tahun 2020.[3] Menurut berbagai prediksi, ratusan ribu orang di dunia meninggal dunia dan jutaan lainnya mengalami kelaparan tanpa adanya upaya bersama dalam mengatasi masalah ketahanan pangan. Per Oktober 2020, usaha-usaha ini mengurangi risiko kelaparan yang meluas akibat pandemi COVID-19.[4]
Kelaparan dikhawatirkan menjadi hasil dari resesi Covid-19 sehingga beberapa langkah diambil untuk mencegah penyebarannya.[5][6] Selain itu, serangan belalang yang terjadi pada 2019-2020,[7] perang yang terus berlangsung dan kekacauan politik di sejumlah negara juga dinilai sebagai penyebab dari munculnya kasus kelaparan.[8]
Pada September 2020, David Beasley, Direktur Eksekutif dari Program Pangan Dunia, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyatakan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh negara donatur selama lima bulan sebelumnya, termasuk penyediaan $17 triliun dalam stimulus fiskal dan dukungan bank sentral, penangguhan pembayaran hutang yang dilakukan oleh IMF dan negara-negara G20 untuk keuntungan negara yang lebih miskin dan dukungan donor untuk Program Pangan Dunia, telah mencegah dan membantu 270 juta orang dari risiko kelaparan. Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa meskipun tindakan tersebut berdampak dalam mencegah kelaparan massal di negara-negara miskin, tindakan donor lebih lanjut diperlukan untuk mencegah kelaparan pada 2021 ketika konflik regional dan pandemi terus berlanjut.[9]
Latar belakang
Serangan belalang 2019-2020
Pola cuaca yang luar biasa pada 2018, termasuk hujan lebat, menghasilkan pertumbuhan yang signifikan terhadap populasi belalang gurun di Jazirah Arab dan kawasan Afrika selama 2019.[10] Belalang membentuk kawanan dan kemudian merusak tanaman serta mengurangi ketersediaan pangan bagi ternak dan manusia. Organisasi Pangan dan Agrikultur Dunia dan Bank Dunia menyatakan bahwa setidaknya ada 23 negara yang terkena dampak dari serbuan belalang. Mereka memprediksi, total kerugian yang harus ditanggung mencapai US$8.5 miliar dan sekitar 24 juta jiwa penduduk di negara-negara tersebut memiliki ketahanan pangan yang buruk pada Juli 2020.[11]
Gelombang baru belalang yang menyebar ke seluruh Afrika pada Juni 2020 juga memicu kekhawatiran bahwa kekurangan pasokan, khususnya yang terjadi di sejumlah negara seperti Suriah, Yaman, India dan Etiopia dapat meningkatkan kelaparan di wilayah tersebut.[12][13][14][15][16]
Menyusul penyebaran koronavirusSARS-CoV-2 dan penyakit yang dihasilkan olehnya, beberapa negara memutuskan untuk melakukan karantina nasional dan pembatasan perjalanan untuk mencegah penyebaran lebih luas. Sebagai hasil dari tindakan pencegahan dan pembelian karena panik yang terjadi, kekurangan terkait pandemi Covid-19 meningkat pesat sementara kemampuan pengiriman bantuan dan pengiriman uang dari negara-negara berpenghasilan tinggi menurun. Secara bersamaan, banyak pekerja yang lebih miskin di negara berpenghasilan rendah dan menengah yang kehilangan pekerjaan atau kemampuan dalam bertani sebagai dampak dari karantina. Di sisi lain, anak-anak mereka tidak bisa memperoleh makanan dari sekolah akibat karantina wilayah yang berlangsung di seluruh dunia.[17]
Pada Juli 2020, Oxfam melaporkan bahwa sebagian orang yang meninggal dunia akibat Covid-19, sebenarnya meninggal dunia akibat kekurangan makanan dalam jumlah yang tinggi.[1]Oxfam memproyeksikan bahwa pada akhir tahun 2020, "12.000 orang per hari dapat meninggal dunia karena kelaparan terkait COVID-19". PBB pun menyatakan bahwa total ada 265 juta orang yang mengalami kerawanan pangan akut, meningkat 135 juta orang sebagai dampak dari pandemi.[5][18]
Sementara itu Kepala Program Pangan Dunia memperingatkan pada April 2020 bahwa tanpa dukungan finansial dari negara-negara barat, 30 juta orang yang didukung oleh organisasi tersebut akan memiliki risiko kematian sebagai dampak dari kerawanan pangan pada 2020.[19][20][21]
Laporan global tentang krisis makanan
Pada 21 April 2020, Program Pangan Dunia Persatuan Bangsa-bangsa mengingatkan bahwa kelaparan terjadi di beberapa bagian di dunia sebagai dampak dari pandemi Covid-19.[22][23] Rilis laporan global tentang krisis pangan 2020 menyebut bahwa terdapat 55 negara yang ada dalam risiko.[24]David Beasley pun memprediksi bahwa dalam skenario terburuk, setidaknya ada hampir 40 negara yang akan menyerah karena kelaparan.[23][25]
PBB memperkirakan negara-negara anggota berikut akan memiliki area yang signifikan dengan ketahanan pangan yang buruk yang dikategorikan sebagai "stres" (IPC (Integrated Food Security Phase Classification) fase 2), "krisis" (IPC fase 3), "darurat" (IPC phase 4) atau "darurat kritis" (IPC fase 5) pada 2020:[24]
Tanda bintang (*) menunjukkan bahwa negara-negara tersebut dianggap sebagai hotspot "kelaparan ekstrem" oleh Oxfam, seperti yang ditunjukkan dalam laporan Oxfarm pada Juli 2020. Sepuluh bidang utama dari kelaparan ekstrem yang mencakup 65% dari total populasi menghadi kelaparan tingkat krisis (IPC fase 3 atau di atasnya) termasuk Afghanistan, Kongo, Etiopia, Haiti, Sudan Selatan, Sudan, Suriah, Venezuela, Yaman, serta SahelAfrika Barat (seperti Burkina Faso, Mauritania, Niger, Nigeria and Senegal). Laporan ini juga mencatat "pusat-pusat yang muncul" dari kelaparan, di samping daerah-daerah yang dilanda, seperti di Brasil, India, Yaman, Afrika Selatan dan Sahel.[1][2] Atas laporan ini, PBB kemudian membuat seruan untuk meningkatkan analisis data di beberapa negara yang kemungkinan juga berisiko seperti Kongo, Korea Utara, Eritrea, Kirgistan, Nepal, Filipina dan Sri Lanka.[24]
Tanggapan industri
Laporan Oxfam Juli 2020 tentang kelaparan akibat koronavirus menghitung bahwa antara Januari hingga Juli 2020, terdapat delapan perusahaan makanan besar di dunia (The Coca-Cola Company, Danone, General Mills, Kellogg's, Mondelez, Nestlé, PepsiCo dan Unilever) yang memberikan total US$18 miliar kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen. Jumlah ini 10 kali lipat lebih banyak dari perkiraan PBB untuk bantuan yang dibutuhkan untuk mengatasi kerawanan pangan di daerah-daerah rentan dilanda kelaparan.[1] Beberapa dari perusahaan ini, termasuk Nestlé and PepsiCo menjalin kerja sama dengan PBB dan beberapa persatuan petani yang tergabung di negara-negara G20 untuk mendukung distribusi makanan dan persediaan pangan untuk negara-negara berpenghasilan rendah.[26]