Hj. Rangkayo[note 1] Rasuna Said (14 September 1910 – 2 November 1965) adalah pejuang kemerdekaan dan politikus Indonesia yang mendapat gelar pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Kehidupan awal
Rasuna Said dilahirkan pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.[2] Ia merupakan keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau, aktivis pergerakan, dan guru yang menjadi tokoh Taman Siswa.[3]
Keluarga Rasuna Said adalah keluarga beragama Islam yang taat. Dia dibesarkan di rumah pamannya karena pekerjaan ayahnya yang membuat ayahnya sering tidak berada di rumah. Tidak seperti saudara-saudaranya, dia bersekolah di sekolah agama, bukan sekuler, dan kemudian pindah ke Padang Panjang, di mana dia bersekolah di Diniyah School, yang menggabungkan mata pelajaran agama dan mata pelajaran khusus. Pada tahun 1923, ia menjadi asisten guru di Sekolah Diniyah Putri yang baru didirikan, tetapi kembali ke kampung halamannya tiga tahun kemudian setelah sekolah itu hancur karena gempa. Dia kemudian belajar selama dua tahun di sekolah yang terkait dengan aktivisme politik dan agama, dan menghadiri pidato yang diberikan oleh direktur sekolah tentang nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.[4][5]
Setelah menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), Rasuna Said remaja dikirimkan sang ayah untuk melanjutkan pendidikan di pesantren Ar-Rasyidiyah. Saat itu, ia merupakan satu-satunya santri perempuan. Ia dikenal sebagai sosok yang pandai, cerdas, dan pemberani. Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah PutriPadang Panjang, dan bertemu dengan Rahmah El Yunusiyyah, seorang tokoh gerakan Thawalib. Gerakan Thawalib adalah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatera Barat. Banyak pemimpin gerakan ini dipengaruhi oleh pemikiran nasionalis-Islam Turki, Mustafa Kemal Atatürk.[butuh rujukan]
Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum wanita, ia sempat mengajar di Diniyah Putri sebagai guru. Namun pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah, tetapi harus disertai perjuangan politik. Rasuna Said ingin memasukkan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tetapi ditolak. Rasuna Said kemudian mendalami agama pada Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berpikir yang nantinya banyak mempengaruhi pandangan Rasuna Said.[butuh rujukan]
Ketika Rasuna menikah
Ketika Rasuna Said berusia sembilan belas tahun, tepatnya pada tahun 1929, ia memutuskan untuk menikah dengan Duski Samad, seorang aktivis pergerakan yang sebelumnya merupakan gurunya di Sumatera Thawalib. Saat itu, Duski Samad berumur 24 tahun. Namun, keluarga Rasuna Said menentang pernikahan ini karena perbedaan status sosial. Adat pada waktu itu mengharuskan wanita untuk menikah dengan pria yang setara atau lebih baik dalam hal ekonomi, pendidikan, dan status sosial. Meskipun Duski Samad dikenal sebagai seorang yang beriman dan cerdas, ia hidup dalam keadaan miskin. Meski begitu, Rasuna Said tetap pada keputusannya, dan mereka akhirnya menikah serta memiliki dua anak, Darwin dan Auda Zaschkya Duski. Sayangnya, Darwin meninggal saat masih kecil, meninggalkan Auda sebagai anak tunggal mereka.[butuh rujukan]
Awalnya, kehidupan rumah tangga mereka bahagia. Namun, karena keterlibatan mereka dalam gerakan perjuangan, keduanya menjadi sibuk dan kurang memiliki waktu untuk saling menunjukkan kasih sayang. Komunikasi yang minim membuat mereka memutuskan untuk bercerai pada tahun 1932. Setelah perceraiannya, Rasuna Said mulai mengungkapkan pandangan kritis tentang poligami, yang ia anggap sebagai salah satu penyebab tingginya angka perceraian, terutama di masyarakat Minang yang saat itu umum melakukan poligami. Menurut survei tahun 1930, Sumatra Barat memiliki tingkat perceraian tertinggi, dengan 14 dari 100 wanita dewasa menjadi janda, dan 10 dari 100 pria dewasa berpoligami.[butuh rujukan]
Rasuna Said sangat menolak budaya perceraian yang merugikan perempuan. Meskipun poligami diperbolehkan dalam Islam, ia memilih untuk bercerai daripada menjadi istri kedua. Meskipun telah bercerai, hubungan Rasuna Said dan Duski Samad tetap baik meskipun mereka memiliki pandangan politik yang berbeda; Duski mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1958, sementara Rasuna lebih mendukung Ir. Soekarno.[butuh rujukan]
Setelah mengalami kekecewaan dalam sebuah organisasi, Rasuna Said memutuskan untuk pindah ke Medan, Sumatera Utara, mungkin untuk memulai yang baru dan mencari lingkungan yang berbeda. Di Medan, ia tetap aktif dalam politik dan pendidikan, berusaha membawa perubahan dan memajukan masyarakat melalui keterlibatannya di berbagai organisasi. Pindah ke Medan menandai babak baru dalam hidupnya, di mana ia dapat melanjutkan perjuangannya dengan cara yang berbeda.[butuh rujukan]
Pada tahun 1937, Rasuna Said menjalin hubungan dengan Barioen A.S., pemimpin redaksi Surat Kabar Sinar Deli, dan memutuskan untuk menikah lagi. Namun, pernikahan mereka tidak bertahan lama karena keduanya sibuk dengan urusan politik, sehingga mengabaikan rumah tangga mereka. Mereka tidak dikaruniai anak dan akhirnya bercerai. Setelah itu, Rasuna Said tidak pernah menikah lagi hingga akhir hayatnya, dan ia tidak banyak mengenang kehidupan bersama Barioen. Kontroversi poligami pernah ramai dan menjadi polemik di ranah Minang tahun 1930-an. Ini berakibat pada meningkatnya angka kawin cerai. Rasuna Said menganggap kelakuan ini bagian dari pelecehan terhadap kaum wanita.[butuh rujukan]
Pendidikan
Rasuna Said berasal dari keluarga terkemuka dan dikelilingi oleh para aktivis gerakan, yang memberinya keunggulan dalam memenuhi kebutuhan, termasuk pendidikan. Ia memulai pendidikan di sekolah agama di desanya dekat Danau Maninjau, di mana ayahnya mendaftarkannya pada tahun 1916, dan ia menyelesaikannya pada tahun 1921. Setelah itu, ia melanjutkan ke Pesantren Ar-Rasyidiyah yang dipimpin oleh Syekh Abdul Rasyid dari tahun 1921 hingga 1923. Di pesantren tersebut, Rasuna menjadi satu-satunya santri perempuan di tengah mayoritas santri laki-laki. Meskipun demikian, ia tetap berkomitmen untuk belajar dan menunjukkan keberanian serta ketekunan di lingkungan yang didominasi pria.[butuh rujukan]
Pada tahun 1923, Rasuna melanjutkan pendidikannya di Sekolah Diniyah Putri di Padang Panjang di bawah pimpinan Zainuddin Labai El Yunusi. Namun, setelah Zainuddin meninggal dunia, sekolah ini dikelola oleh adiknya, Rahmah El Yunusiah. Di sinilah rasa kepedulian Rasuna terhadap pendidikan mulai tumbuh, dan ia kemudian menjadi pengajar di Sekolah Diniyah Putri. Namun, setelah beberapa waktu, ia mulai memasukkan elemen politik dalam pengajaran, yang bertentangan dengan pandangan Rahmah. Rasuna berargumen bahwa setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, adalah pejuang, dan politik merupakan bagian dari perjuangan. Sebaliknya, Rahmah berpendapat bahwa pendidikan lebih strategis dan bahwa politik berpotensi memecah belah. Karena perbedaan pendapat, Rasuna memutuskan untuk meninggalkan sekolah tersebut.[butuh rujukan]
Setelah meninggalkan Diniyah Putri, Rasuna kembali belajar dari Haji Rasul, seorang tokoh pembaharu Minangkabau. Ia mendapatkan pemahaman penting mengenai pembaruan pemikiran keagamaan dan kebebasan berpikir. Pada 28 Juni 1926, gempa bumi dan letusan Gunung Merapi menghancurkan banyak fasilitas pendidikan, memaksa siswa, termasuk Rasuna, untuk pulang dan mencari perlindungan. Namun, keinginannya untuk belajar tetap tinggi, dan ia berguru kepada H. Abdul Majid di desanya, meskipun ia merasa tidak cocok dengan pandangannya yang konservatif.[butuh rujukan]
Rasuna kemudian kembali ke Padang Panjang untuk belajar dari Haji Rasul, yang dikenal karena pemikirannya yang progresif dan mendorong kebebasan berpikir. Interaksi dengan Haji Rasul membantunya memahami bahwa agama tidak hanya tentang aturan yang kaku, tetapi juga tentang pengembangan intelektual dan pemikiran kritis. Ia menjadi terinspirasi untuk terlibat dalam perjuangan sosial dan nasional yang lebih luas, berlandaskan pemahaman agama yang inklusif.[butuh rujukan]
Pada masa itu, terjadi ketegangan antara kaum muda dan kaum tua di Minangkabau, di mana kaum muda lebih progresif dan kaum tua lebih konservatif. Gerakan pembaruan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Syekh Abdullah Ahmad dan Syekh Abdul Karim Amrullah menjadi pelopor perubahan. Haji Rasul dikenal dengan pengajian yang keras dan tidak kompromistis, menentang segala bentuk penyelewengan.[butuh rujukan]
Sadar akan pentingnya keterampilan sebagai perempuan, Rasuna memutuskan untuk masuk ke Meisjes School (Sekolah Putri) untuk mempelajari keterampilan penting seperti memasak dan menjahit. Pada tahun 1930, ia melanjutkan pendidikan di sekolah Sumatera Thawalib, lembaga pendidikan terkemuka di Sumatra Barat, dengan harapan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam agama.[butuh rujukan]
Sifat dan kepribadian Rasuna sebagai calon pejuang terbentuk di bawah bimbingan Haji Udin Rahmani, seorang tokoh pergerakan muda. Pidato Haji Udin mengenai perjuangan untuk meraih kemerdekaan menginspirasi semangat Rasuna. Ia dikenal pandai berpidato dan debat, dan berhasil menyelesaikan pendidikan di Sekolah Thawalib dalam waktu dua tahun, meskipun seharusnya berlangsung selama empat tahun.[butuh rujukan]
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan terakhirnya di Islamic College di Padang pada usia 23 tahun. Di sana, ia aktif dalam kegiatan kepenulisan dan jurnalistik, bahkan terpilih sebagai pemimpin redaksi majalah Raya, yang terkenal radikal dan berperan dalam perlawanan di Sumatra Barat. Namun, aktivitas ini menarik perhatian Politieke Inlichtingen Dienst (PID), yang merupakan badan keamanan Hindia Belanda, yang berupaya membatasi ruang gerak Rasuna dan kelompoknya dalam perlawanan.[butuh rujukan]
Perjuangan politik
Awal perjuangan politik Rasuna Said dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat (SR) sebagai Sekretaris cabang. Rasuna Said kemudian juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada tahun 1930. Rasuna Said juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan PERMI dan kemudian mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, dan memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi. Rasuna Said sangat mahir dalam berpidato mengecam pemerintahan Belanda. Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict, yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.[butuh rujukan]
Pada tahun 1926, Rasuna Said aktif dalam organisasi Sarekat Rakyat yang berafiliasi dengan komunis, yang dibubarkan setelah pemberontakan komunis yang gagal di Sumatera Barat pada tahun 1927. Tahun berikutnya, ia menjadi anggota Partai Sarekat Islam, naik ke posisi kepemimpinan cabang Maninjau. Setelah berdiri pada tahun 1930, ia bergabung dengan Persatuan Muslim Indonesia (Permi), sebuah organisasi berbasis Islam dan nasionalisme. Tahun berikutnya, Rasuna yang kembali mengajar di Padang Panjang, meninggalkan pekerjaannya setelah berselisih dengan pemimpinnya karena Rasuna telah mengajar murid-muridnya tentang perlunya tindakan politik untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, dan pindah ke Padang, di mana pimpinan Permi bermarkas. Di sana, dia mendirikan sekolah untuk anak perempuan.[butuh rujukan]
Pada tanggal 23 Oktober 1932, dalam rapat umum bagian perempuan Permi di Padang Panjang, Rasuna menyampaikan pidato publik berjudul "Langkah-Langkah Menuju Kemerdekaan Rakyat Indonesia" di mana dia mengutuk penghancuran mata pencaharian rakyat dan kerusakan yang dilakukan pada rakyat Indonesia oleh kolonialisme. Beberapa minggu kemudian, dalam pidato lain di Payakumbuh di hadapan seribu orang, dia mengatakan kebijakan Permi adalah memperlakukan imperialisme sebagai musuh. Meski mendapat peringatan dari seorang pejabat, dia melanjutkan dengan sekali lagi mengatakan bahwa Al-Qur'an menyebut imperialisme sebagai musuh Islam. Dia memproklamirkan, "Kita harus mencapai kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan harus datang." Tak lama setelah itu dia ditangkap dan didakwa dengan "menebar kebencian", menjadi wanita Indonesia pertama yang didakwa dengan Speekdelict — pelanggaran berbicara. Dia kemudian dijatuhi hukuman 15 bulan penjara, yang membuatnya terkenal secara nasional karena jejak dan hukumannya dilaporkan secara luas. Dia menggunakan persidangannya untuk menyerukan kemerdekaan, dan menarik dukungan luas. Dia dipenjara di Semarang, Jawa Tengah. Lebih dari seribu orang datang untuk menyaksikan keberangkatan kapal yang membawanya ke Jawa.[4][6][7]
Rasuna Said sempat ditangkap bersama teman seperjuangannya Rasimah Ismail, dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.[butuh rujukan]
Kita berjuang dengan keyakinan! Jika kita menang dalam perjuangan kita, kita akan mendapatkan dua manfaat. Pertama, Indonesia akan merdeka; kedua, surga seperti yang dijanjikan Allah. Dan jika kita gagal – tapi tidak boleh – maka memang Indonesia merdeka tidak akan tercapai, tapi surga masih menanti. Ini adalah keyakinan kita!
Surat yang dikirim Rasuna Said ke pengurus Permi sambil menunggu sidang.[8]
Rasuna dibebaskan dari penjara pada tahun 1934. Ia belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan Permi di Padang selama empat tahun. Dia juga bekerja sebagai jurnalis, menulis artikel yang mengkritik kolonialisme Belanda di jurnal sekolah keguruan Raya. Pada tahun 1937 ia pindah ke Medan, kemudian kembali ke Padang setelah invasi Jepang ke Hindia Belanda. Dia ditangkap oleh Jepang karena keanggotaannya dalam organisasi pro-kemerdekaan Indonesia, tetapi dibebaskan setelah waktu yang singkat karena pihak berwenang khawatir menyebabkan ketidakpuasan publik. Pada tahun 1943 ia bergabung dengan pasukan sukarelawan militer Giyugun yang sangat nasionalis, yang telah didirikan oleh Jepang di Sumatra. Dia membantu mendirikan bagian wanita, Hahanokai.[9][10]
Jurnalis
Rasuna Said dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara.[butuh rujukan]
Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat koran mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, "Ini dadaku, mana dadamu". Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan. Rasuna Said mengasuh rubrik "Pojok". Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.[butuh rujukan]
Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini, "Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional." Akan tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan. Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman, Sumatera Barat.[butuh rujukan]
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.[butuh rujukan]
Setelah kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatra mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan. Ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya.[butuh rujukan]
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Rasuna bekerja dengan organisasi-organisasi pro-republik, dan pada tahun 1947 menjadi anggota senior dan ketua bagian perempuan Front Pertahanan Nasional. Dia kemudian bergabung dengan Volksfront, yang merupakan bagian dari Serikat Perjuangan yang didirikan oleh nasionalis-komunis Tan Malaka. Akibat gesekan antara organisasi ini dengan pemerintah daerah, Rasuna ditempatkan dalam tahanan rumah selama seminggu. Rasuna juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera, dan pada Juli 1947 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), badan legislatif sementara. Menjelang sidang keenam KNIP pada tahun 1949, ia diangkat menjadi Badan Pekerja KNIP mewakili Sumatra. Pada tahun 1950, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Pada tahun 1959 ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, posisi yang dipegangnya sampai kematiannya di Jakarta pada tahun 1965.[11][12][13]
Kampanye hak-hak perempuan
Seorang Muslim yang taat, Rasuna secara aktif berkampanye untuk hak-hak pendidikan dan politik perempuan, percaya bahwa keyakinan reformisnya memberikan dasar untuk mengadvokasi perempuan. Keyakinan agamanya meyakinkannya bahwa perempuan harus terdidik. Ketika dia pindah ke Padang pada tahun 1931, dia kecewa ketika mengetahui bahwa perempuan dilarang mengenyam pendidikan dan politik aktif. Di sana ia mendirikan sekolah dan mendirikan bagian Permi untuk perempuan dan anak perempuan. Pada tahun 1933, Permi, yang didirikan oleh para aktivis muda yang mendukung hak perempuan atas pendidikan agama, memiliki ribuan anggota perempuan. Tidak seperti organisasi Islam lainnya, perempuan tidak dikesampingkan di bagian bawahan, tetapi memiliki peran kunci dalam kepemimpinan partai. Namun, dia membela hukum perkawinan Islam, termasuk poligami, dengan alasan bahwa masalah yang ditimbulkannya adalah akibat dari masalah masyarakat, bukan hukum itu sendiri.[4][14]
Kehidupan pribadi
Pada tahun 1929, Rasuna menikah dengan Duski Samad, seorang rekan pengajar dan aktivis politik. Orang tuanya tidak merestui pernikahan tersebut. Mereka memiliki seorang putri, tetapi pernikahan itu berakhir dengan perceraian pada awal tahun 1930-an. Dia kemudian diam-diam menikah dengan Bariun AS, meskipun dia mengatakan bahwa perjuangan kemerdekaan lebih penting daripada suaminya.[15]
Meninggal dunia
Rasuna meninggal di Jakarta karena kanker darah pada 2 November 1965. Ia meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain). Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.[butuh rujukan]
Penghormatan
Pada tanggal 13 November 1974, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974, ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan oleh presiden Soeharto, perempuan kesembilan yang dianugerahi kehormatan ini.[butuh rujukan]
^Hajjah adalah gelar yang merupakan sebutan untuk wanita yang telah menyelesaikan ibadah haji ke Mekah, sedangkan 'Rangkayo' adalah gelar adat yang mengacu pada orang yang berakhlak mulia dan kaya raya.[1]
"HR Rasuna Said, Sang Orator Ulung". Republika (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: PT Republika Media Mandiri. 3 October 2014. Diakses tanggal 29 December 2021.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Jahroni, Jajang (2002). "Haji Rangkayo Rasuna Said: Pejuang Politik Penulis Pergerakan". Dalam Burhanuddin, Jajat. Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 68–99. ISBN979-686-644-7.