PT Produksi Film Negara (Persero) atau biasa disingkat menjadi PFN, adalah sebuah badan usaha milik negara Indonesia yang bergerak di bidang perfilman. Perusahaan ini adalah salah satu perintis industri film di Indonesia. Perusahaan ini memulai sejarahnya dari Java Pacific Film (JPF) yang didirikan oleh Albert Balink di Batavia pada tahun 1934.
Setelah Jepang menduduki Indonesia, pada tahun 1942, Jepang mengambil alih seluruh aset yang dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, termasuk ANIF. Dengan menggunakan aset-aset ANIF, pada tahun 1943, Tentara Kekaisaran Jepang mendirikan Nippon Eiga Sha (日本映画社) dan meletakkannya di bawah pengawasan Sendenbu. Film yang diproduksi oleh Nippon Eiga Sha umumnya ditujukan sebagai alat propaganda politik Jepang sebagai pemersatu Asia. Salah satu orang Pribumi-Nusantara yang bekerja di Nippon Eiga Sha adalah Raden Mas Soetarto, yang sudah berpengalaman di bidang film dan bekerja sebagai juru kamera. Ia pun menjadi orang Pribumi-Nusantara pertama yang menduduki jabatan tersebut. Ketika Nippon Eiga Sha didirikan, Soetarto diangkat oleh Jepang sebagai wakil pimpinan dari Nippon Eiga Sha dengan merangkap sebagai ketua bagi pekerja pribumi dan juru kamera.
1945 - 1988
Satu setengah bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Soetarto memprakarsai pengambilalihan Nippon Eiga Sha dari pimpinannya, T. Ishimoto, atas sepengetahuan dari Menteri Penerangan kala itu, Amir Sjarifuddin. Pada tanggal 6 Oktober 1945, nama Nippon Eiga Sha diubah menjadi Berita Film Indonesia (BFI).[1] Karena Jakarta tidak aman lagi akibat serangan-serangan tentara penseringSekutu, pada bulan Desember 1945, BFI pun diungsikan ke Surakarta. Sebelum pindah, BFI masih sempat memfilmkan hari proklamasi, penempelan poster, tulisan di tembok-tembok, rapat raksasa 19 September di Lapangan Ikada, peristiwa perlucutan senjata Jepang oleh Sekutu, dan pengangkutan serdadu Jepang ke Pulau Galang serta Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta.
Setelah ditinggalkan oleh BFI, bekas studio BFI di Polonia, Jatinegara, Jakarta, digunakan oleh tentara NICA untuk kepentingan propaganda dengan didirikannya Regerings Film Bedrijf (Perusahaan Film Pemerintah). Selain itu, studio tersebut juga dimanfaatkan oleh NV Multi Film dan South Pacific Film Co. Setelah mengakui kedaulatan Indonesia, Belanda menyerahkan aset Regerings Film Bedrijf kepada Republik Indonesia Serikat. Nama Regerings Film Bedrijf kemudian diubah menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) di bawah naungan Kementerian Penerangan. Pemimpin pertama PPN adalah Suska. Pada akhir tahun 1950, RM Harjoto diangkat menjadi direktur PPN, sementara Soetarto diangkat menjadi kepala produksi umum, yang meliputi produksi film cerita, film dokumenter, dan laboratorium. Pegawai BFI di Yogyakarta kemudian dipindah ke Jakarta dan dipekerjakan oleh PPN. Nama PPN lalu diubah menjadi Perusahaan Film Negara (PFN).[2] Pada tanggal 16 Agustus 1975, nama PFN kembali diubah menjadi Pusat Produksi Film Negara (PPFN).
1988 - sekarang
Pada tahun 1988, pemerintah mengubah Pusat Produksi Film Negara menjadi sebuah perusahaan umum (Perum) dengan nama Perum Produksi Film Negara (PFN).[1] Pada tahun 2021, Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia mengarahkan perusahaan ini untuk menjadi perusahaan pembiayaan perfilman. Menteri BUMN Erick Thohir berharap perusahaan ini dapat berkolaborasi dengan para pelaku film Indonesia dalam mengakses pembiayaan dan konten. Selain itu, perusahaan ini juga akan bersinergi dengan Telkom Indonesia dalam mengembangkan dan mengelola hak kekayaan intelektual film di Indonesia.[3] Pada bulan Agustus 2023, pemerintah resmi mengubah status perusahaan ini menjadi persero[4] dalam rangka persiapan akusisi oleh Danareksa.[5]
Film-film dokumenter dan berita itu menggugah semangat perjuangan bangsa dan kesadaran bernegara, setiap kali diputar oleh Jawatan Penerangan di daerah-daerah. Selain itu, dari dokumentasi itu kemudian dapat disusun film dokumenter Indonesia Fights for Freedom (1951) dan 10 November yang mengabadikan pertempuran Surabaya. Beberapa film berita juga diserahkan kepada perwakilan tentara Australia, Amerika, Inggris dan India di Jakarta. Berkat penyiaran kembali film-film itu oleh mereka, perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapat tanggapan positif dari dunia internasional.[2]