Share to:

Sejarah Jawa Barat pada era kerajaan Hindu-Buddha

Daerah Jawa Barat mulai memasuki era Kerajaan Hindu-Buddha di abad ke-4 Masehi. Seiring dengan berlangsungnya perdagangan internasional yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Barat di era Kebudayaan Buni, budaya dan pengaruh dari negara lain khususnya India mulai masuk ke wilayah Jawa Barat. Agama Hindu dan Buddha mulai masuk dan menyebar melalui jalur migrasi dan perdagangan.[1][2] Secara perlahan, kepercayaan Animisme yang sebelumnya dianut oleh masyarakat ditinggalkan, meski kepercayaan ini masih bertahan dan berkembang menjadi agama Sunda Wiwitan yang dikenal sekarang.[3] Kerajaan Salakanagara merupakan kerajaan semi-mistis bercorak Hindu pertama di Jawa Barat, dimana kerajaan ini diperkirakan berdiri di tahun 130, dengan Dewawarman I yang berasal dari Pallawa, India Selatan sebagai raja pertama dan Rajatapura sebagai ibukotanya.[4] Wilayah pengaruh kerajaan ini diperkirakan mulai dari Ujung Kulon sampai ke Cianjur, dimana penduduknya diyakini sebagai leluhur dari Suku Sunda saat ini.[5][6] Kerajaan ini diperkirakan berdiri hingga tahun 362.[7] Namun keberadaan dari kerajaan ini masih diperdebatkan dikarenakan belum ditemukannya penemuan arkeologi fisik seperti prasasti.[8]

Tarumanagara

Kerajaan Salakanagara lalu digantikan oleh Kerajaan Tarumanagara di tahun 358 oleh maharesi Jayasingawarman dari Salankayana, menantu dari raja Dewawarman VIII.[9] Jayasingawarman awalnya mendirikan sebuah pemukiman di dekat Sungai Citarum yaitu desa Taruma. Desa ini lalu berkembang dengan pesat dan berubah menjadi sebuah kerajaan baru yaitu Tarumanagara. Dikarenakan pengaruhnya yang semakin kuat, di tahun 362 pusat pemerintahan di wilayah Jawa Barat dan Banten beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara, dimana status Salakanagara diturunkan menjadi kerajaan daerah atau negara bagian dari Tarumanagara.[10] Tarumanagara mencapai masa keemasannya di era pemerintahan cucu Jayasingawarman yaitu Purnawarman. Di masa pemerintahannya, Purnawarman mengepalai 48 kerajaan daerah yang terbentang dari Salakanagara di Pandeglang sampai ke Ci Sarayu di Puwalingga.[11] Perekonomian Tarumanagara saat itu sangat makmur, dimana rakyatnya banyak mendapatkan manfaat dari kegiatan pertanian dan perdagangan.[12] Di era Tarumanagara juga telah dibangun kompleks Percandian Batujaya yang bercorak Buddha di Karawang pada abad ke-5 M, dimana kompleks percandian ini merupakan yang tertua di Indonesia.[13][14] Kerajaan Tarumanagara mulai melemah di era pemerintahan Sudhawarman, dimana kendali akan kerajaan-kerajaan daerah di bawah Tarumanagara melemah serta semakin menguatnya Sriwijaya yang berpusat di wilayah pesisir timur Sumatra sebagai pusat perdagangan baru.[15][16]

Sunda dan Galuh

Di tahun 670, Tarusbawa, menantu dan pengganti raja Linggawarman memindahkan pusat pemerintahan kembali ke Sundapura, ibukota Tarumanagara di era Purnawarman. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kejayaan Tarumanagara yang di abad ke-7 M sudah mengalami banyak kemunduran.[17] Ia lalu mengubah nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Keputusan ini menimbulkan pertentangan dari Wretikandayun, penguasa dari Kerajaan Galuh di Karangkamulyan, wilayah timur Tarumanagara. Dengan dukungan dari para raja daerah di wilayah timur juga Kerajaan Kalingga, Wretikandayun menyatakan Galuh sebagai kerajaan merdeka yang terpisah dari kerajaan Sunda.[18] Untuk menghindari terjadinya perang saudara, Tarusbawa pun mengakui status Galuh sebagai kerajaan mandiri yang sejajar dengan Sunda. Wilayah antara Sunda dan Galuh dibatasi oleh Sungai Citarum.[19] Dikarenakan adanya serbuan dari Sriwijaya terhadap Sundapura di tahun 686, Tarusbawa lalu memindahkan lagi ibukota ke daerah pedalaman tepatnya di Pakuan Pajajaran yang sekarang masuk daerah Bogor.[18][20] Di abad ke-9 M, kedua kerajaan tersebut kembali dipimpin oleh satu raja, ketika di tahun 852 takhta Galuh diserahkan kepada Gajah Kulon yang juga merupakan raja Sunda.[21] Antara akhir abad ke-8 sampai abad ke-10 M, Sunda dan Galuh berada di bawah pengaruh Sriwijaya, dimana Sriwijaya pernah melancarkan serbuan beberapa kali ke pesisir utara wilayah Sunda & Galuh.[22] Menurut Prasasti Kebonkopi II, wilayah Jawa Barat khususnya Kerajaan Sunda terlepas dari pengaruh Sriwijaya di tahun 932.[23] Di era pemerintahan Jayabhupati di abad ke-11 M, Kerajaan Sunda memilih untuk netral terhadap permusuhan antara Sriwijaya dengan Kerajaan Medang di Jawa Timur, karena penguasa di kedua kerajaan tersebut masih kerabat dari Jayabhupati.[24][25] Di era Kerajaan Hindu-Buddha, terdapat beberapa kerajaan daerah yang pernah berdiri di Jawa Barat, diantaranya adalah Kerajaan Jampang Manggung,[26] Kerajaan Agrabintapura,[26] Kerajaan Tanjung Singuru,[26] Kerajaan Kendan[27], Kerajaan Talaga Manggung, Kerajaan Galunggung, dan Kerajaan Tembong Agung.[28]

Kerajaan Sunda dan Galuh merupakan salah-satu wilayah di Nusantara yang tidak berada di bawah pengaruh Majapahit di abad ke-14 M. Prabu Hayam Wuruk berniat untuk memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi, namun terjadinya insiden Perang Bubat yang menewaskan maharaja Linggabuana beserta seluruh pengawalnya di wilayah Majapahit mengakibatkan ketegangan antara Sunda-Galuh dengan Majapahit, meski ketegangan tersebut tidak berujung pada perang terbuka.[29][30] Hubungan kerajaan Galuh dengan Majapahit setelah insiden di Bubat relatif normal, dimana ketika Perang Paregreg antara sesama keturunan Hayam Wuruk meletus di timur, kerajaan tersebut menerima para rombongan pengungsi dari Majapahit.[31] Namun keputusan raja Galuh saat itu, Dewa Niskala, untuk menikah dengan salah-satu pengungsi dari Majapahit mengundang protes dari raja Susuk Tunggal di Sunda karena hal tersebut dianggap tabu.[32] Untuk meredakan ketegangan antara Sunda dan Galuh, di tahun 1482 kedua raja tersebut akhirnya turun takhta dan menyerahkan kekuasaan kepada Jayadewata, dimana Jayadewata awalnya dinobatkan sebagai raja Galuh dengan gelar Sri Baduga Maharaja.[33][34] Ia lalu memindahkan pusat pemerintahan dari Kawali (Ciamis Utara) menuju Pakuan dan menikah dengan putri dari Susuk Tunggal.[35][36] Kerajaan Sunda dan Galuh yang berdiri terpisah selama 8 abad akhirnya bersatu kembali. Dikarenakan ibukota dari kerajaan Sunda yang baru tersebut berada di Pakuan Pajajaran, kerajaan tersebut akhirnya mulai dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.[37][38] Di era pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Kerajaan Sunda mengalami masa keemasan dan sudah melakukan kontak dengan bangsa Eropa.[39][40] Tomé Pires, seorang diplomat berkebangsaan Portugis yang mengunjungi Pakuan di tahun 1513, mencatat bahwa kerajaan Sunda merupakan kerajaan agraris yang banyak menghasilkan komoditas berupa beras, lada, asam jawa, dan cabai jawa dengan mutu yang baik.[41][42]

Rujukan

  1. ^ "Leluhur Kasta Tertinggi India pada Orang Indonesia". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2020-09-05. 
  2. ^ Media, Kompas Cyber. "[[Agama Hindu]]-[[Agama Buddha|Buddha]]". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-09-05.  Konflik URL–wikilink (bantuan)
  3. ^ Tirtosudarmo, Riwanto (2010). Dinamika sosial di perkotaan pantura dan implikasinya bagi Indonesia: studi di "Banten" dan "Demak". Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ISBN 978-979-799-584-3. 
  4. ^ "Dari Salakanagara Hingga Sumedang Larang Book by Dudih Sutrisman - Gramedia Digital". ebooks.gramedia.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-05. 
  5. ^ "Misteri Salakanegara, Kerajaan Tertua di Nusantara". SINDOnews.com. Diakses tanggal 2020-09-05. 
  6. ^ "Kerajaan Salakanagara, Pemerintahan Tertua di Nusantara". kumparan. Diakses tanggal 2020-09-05. 
  7. ^ Historian (2017-03-21). "Kerajaan Salakanagara - Sejarah Kerajaan Nusantara". Histori (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-05. 
  8. ^ Raditya, Iswara N. "Salakanagara, Kerajaan (Sunda) Tertua di Nusantara". tirto.id. Diakses tanggal 2020-09-05. 
  9. ^ Iguchi, Masatoshi (2015-01-28). Java Essay: The History and Culture of a Southern Country (dalam bahasa Inggris). Troubador Publishing Ltd. ISBN 978-1-78462-151-3. 
  10. ^ Rambe, Tappil; Lukitoyo, Pristi Suhendro; Saragih, Syahrul Nizar; Khairani, Leylia (2019-09-30). Sejarah Politik dan Kekuasaan. Yayasan Kita Menulis. ISBN 978-623-91758-0-1. 
  11. ^ Danasasmita, Saleh (1983). Sejarah Bogor. Pemerintah Daerah Kotamadya DT II Bogor. 
  12. ^ "Sejak Raja Tarumanegara, Daerah Jakarta Sudah Jadi Langganan Banjir". tirto.id. Diakses tanggal 2020-09-13. 
  13. ^ "Pelan Tapi Pasti, Misteri dalam Kompleks Candi Tertua di Indonesia Makin Terkuak. Tinggalan Ini Juga Buktikan Teknologi Tinggi Leluhur Kita - Semua Halaman - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2020-09-06. 
  14. ^ Awaluddin, Luthfiana. "Karawang Punya Kompleks Candi Tertua di Indonesia". detikTravel. Diakses tanggal 2020-09-06. 
  15. ^ "Bukti Tentang Berdirinya Kerajaan Tarumanegara". Republika Online. 2020-04-30. Diakses tanggal 2020-09-13. 
  16. ^ "Sriwijaya dalam Perdagangan Dunia". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2020-09-13. 
  17. ^ M, Apipudin S. (2010). Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17. Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI. ISBN 978-979-797-302-5. 
  18. ^ a b Omar, Roaimah; Bahrom, Hasan; Mello, Geraldine de (2015-06-16). Islamic perspectives relating to business, arts, culture and communication: Proceedings of the 1st ICIBACC 2014 (dalam bahasa Inggris). Springer. ISBN 978-981-287-429-0. 
  19. ^ Ayatrohaedi; Surachmat, Dirman; Munandar, Agus Aris; Sejarah, Proyek Penelitian Terpadu Sejarah Kerajaan Tarumanagara (Universitas Tarumanagara) Sub Proyek Pengulangbinaan (1991). Kisah Tarumanagara dalam naskah: laporan penelitian, 1988. Universitas Tarumanagara, UPT Penerbitan. ISBN 978-979-8127-26-7. 
  20. ^ Muljana, Slamet (1980). Dari Holotan ke Jayakarta. Yayasan Idayu. 
  21. ^ Effendy, Khasan (1994). Pertalian keluarga raja-raja Jawa Kulon dengan Keraton Pakungwati: Sunan Gunung Djati muara terakhir keluarga raja-raja Jawa Kulon. Indra Prahasta. 
  22. ^ Muljana, Slamet (1981). Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Yayasan Idayu. 
  23. ^ Pradjoko, Didik; Utomo, Bambang Budi; RI, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud (2013-11-01). Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia. Direktorat Jenderal Kebudayaan. ISBN 978-602-17497-5-3. 
  24. ^ Ayatrohaedi (2005). Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya. ISBN 978-979-419-330-3. 
  25. ^ Pustaka rajya rajya i bhumi Nusantara. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. 
  26. ^ a b c Benny Bastiandy (Sabtu, 9 Juli 2011 18:05 WIB). "Wah, Ada Tiga Kerajaan di Kabupaten Cianjur". inilah.com. Archived from the original on 2018-08-16. Diakses tanggal 28 Agustus 2015. 
  27. ^ PCBM, Dit (2018-08-15). "Dari Kerajaan Kendan, Kemudian Galuh, Barulah Sunda". Direktorat Pelindungan Kebudayaan. Diakses tanggal 2023-01-12. 
  28. ^ Mardiana, Erna (Senin 31 Aug 2015, 17:15 WIB). "Cerita Tentang Tembong Agung, Kerajaan yang Jadi Nama Waduk Jatigede". detikcom. detikNews. Archived from the original on 2015-10-13. Diakses tanggal Senin 31 Aug 2015. 
  29. ^ Suhaedi, Edy (1993). Penanaman nilai budaya melalui tembang tradisional. Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. 
  30. ^ "Gajah Mada Segan pada Kerajaan Sunda". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2020-11-01. 
  31. ^ Iskandar, Eddy D. (2007). Citraresmi: riwayat menyayat Perang Bubat. Kiblat. 
  32. ^ Dahuri, Rokhmin; Irianto (Raden), Bambang; Arovah, Eva Nur (2004). Budaya bahari: sebuah apresiasi di Cirebon. Percetakan Negara R.I. ISBN 978-979-3747-06-4. 
  33. ^ Sumarlina, Elis Suryani Nani (2007). Keanekaragaman budaya Sunda buhun. Alqa Prisma Interdelta. ISBN 978-979-9462-78-7. 
  34. ^ "Hari ini 1482 Sri Baduga Maharaja Dinobatkan Sebagai Raja Pajajaran". Republika Online. 2013-06-03. Diakses tanggal 2020-11-01. 
  35. ^ Kartasumitra, R. E. Sulaeman (1993). Catatan-catatan tercecer mengenai kerajaan-kerajaan dan raja-raja pra Islam di Jawa Barat, tahun 130-1579M. 
  36. ^ "Apa dan Siapa Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Pajajaran yang Termashur". halloid (dalam bahasa Inggris). 2020-07-11. Diakses tanggal 2020-11-01. 
  37. ^ "Dinas Kehutanan Prov Jabar". www.dishut.jabarprov.go.id. Diakses tanggal 2020-11-01. 
  38. ^ "Kerajaan Pajajaran, kerajaan corak Hindu di Parahyangan". Artisanal Bistro (dalam bahasa Inggris). 2020-06-21. Diakses tanggal 2020-11-01. 
  39. ^ Syukur, Abdul (2011). "ISLAM, ETNISITAS, DAN POLITIK IDENTITAS: Kasus Sunda" (PDF). MIQOT. XXXV (2 Juli-Desember 2011): 417. 
  40. ^ Tempo. Badan Usaha Jaya Press Jajasan Jaya Raya. 2002. 
  41. ^ Archaeology: Indonesian Perspective : R.P. Soejono's Festschrift (dalam bahasa Inggris). Yayasan Obor Indonesia. 2006. ISBN 978-979-26-2499-1. 
  42. ^ "Temaram di Pelabuhan Sunda Kelapa". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-01. 
Baca informasi lainnya:
Kembali kehalaman sebelumnya