Share to:

 

Tarumanagara

Tarumanagara

ᮒᮛᮥᮙᮔᮌᮛ
Abad ke-5–Abad ke-7
Wilayah Tarumanagara
Wilayah Tarumanagara
Ibu kotaSundapura
Bahasa resmiSanskerta
Agama
Hindu dan Buddha
PemerintahanMonarki
Raja 
• Abad ke-5
Purnawarman1
Sejarah 
Abad ke-5
• Invasi Sriwijaya
Abad ke-7
Mata uangMata uang emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Kutai
krjKerajaan
Sunda
krjKerajaan
Medang
Sekarang bagian dari Indonesia
^1 Raja Tarumanagara yang diketahui berdasarkan temuan prasasti Ciaruteun, Jambu, dan Tugu.
^2 Prasasti Ciaruteun: bukti tertua peninggalan kerajaan Tarumanagara yang berasal dari abad ke-5 Masehi.[1]
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Tarumanagara atau Kerajaan Taruma (bahasa Sunda: ᮒᮛᮥᮙᮔᮌᮛ) adalah salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan bukti arkeologi. Kerajaan ini pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 sampai abad ke-7 Masehi. Bukti tertua peninggalan arkeologi dari kerajaan ini adalah prasasti Ciaruteun, berupa batu peringatan dari abad ke-5 Masehi yang ditandai dengan bentuk tapak kaki raja Purnawarman.[1]

Tarumanagara didirikan tahun 358 Masehi oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman (tahun 358-382 Masehi) menantu dari Dewawarman VIII.

Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi) kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395 masehi. Pada tahun 357 Saka (= 435 Masehi) Wisnuwarman, raja ke-4 Salakanagara mengirim duta-dutanya ke berbagai negeri, yaitu Cina, Bharatanagari, Campanagari, Bakulapura, Dharmanagari, dan lain-lain.

Hubungan pelayaran, perdagangan dan diplomasi antar negara yang dilakukan Salakanagara dan Tarumanagara juga Kerajaan Sagalapasir. Telah meninggalkan peninggalan kompleks Percandian terluas (500 hektar / 5 km2) dan tertua di Indonesia yang berlokasi di Batujaya - Karawang.

Karena dibangun lebih tua daripada candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur yaitu abad 2 hingga 7 masehi, maka situs candi hanya tersisa beberapa landasan, lantai, badan dan pondasi candi yang bisa dieskavasi. Bangunan candi terlihat menggunakan batu bata khas percandian Budha,

Penggunaan batubata menunjukkan rakyat Tarumanagara telah mahir industri tersebut. Keunikan lainnya, pada Candi Blandongan ditemukan beberapa tengkorak manusia dewasa beserta bekal kuburnya berupa gerabah, dan peralatan yang terbuat besi. Bahkan beberapa tengkorak manusia menggunakan perhiasan.

Patut diduga merupakan bangunan khas candi / kuil Budha model Tiongkok. Sebagaimana catatan Tiongkok sendiri yang telah menerima utusan dari Pien Tiao (raja Salakanagara) hingga To lo mo / Tarumanagara dari abad 2 hingga 7 masehi.

Purnawarman (395 - 434 M), raja ketiga Tarumanagara, Membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 masehi yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura". Wilayah sekitar utara Jakarta dan Bekasi sekarang. Nama Sunda mulai digunakan kembali oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya.

Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3 (halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga) di Jawa Tengah.  Secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) memang kekuasaan raja-raja penguasa Sunda pada masa silam.

Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara dari pertengahan abad ke-5 Masehi. Ditemukan di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu, pada koordinat 6°07’45,40”LS dan 0°06’34,05” BT dari Jakarta (lk. 06°07′45.4″LS 106°55′04.6″BT di sekitar Simpang Lima Semper, tidak jauh dari tepian Kali Cakung), Kelurahan Tugu Selatan, kecamatan Koja, Jakarta Utara.

Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga (Sungai Bekasi) oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman. Penggalian sungai tersebut untuk menghindari bencana alam berupa banjir dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Juga sarana lalu-lintas pelayaran perdagangan antar daerah.

Prasasti Tugu dari Tarumanagara selain yang asli di Museum Nasional, juga dapat ditemukan replikanya di Museum Jakarta – Kota Tua dan Museum Bekasi - Gedung Perjuangan 45.

Upaya Purnawarman membangun Infrastruktur Pengelolaan Banjir abad 4 - 5 masehi

  1. Tahun 410 masehi, Mengeruk dan memperkuat Tanggul Sungai Gangga (situ Gangga) di Cirebon
  2. Tahun 412 masehi, Memperkuat Tanggul Sungai Cupu (sekarang Cipunagara - Subang) yang mengalir sampai ke laut
  3. Tahun 413 masehi : Memperkokoh parit dan memperindah aliran Sungai Sarasah di Kerajaan Manukrawa (Cimanuk, Indramayu sekarang).
  4. Tahun 417 masehi, Melanjutkan Pembangunan Kanal Sungai Gomati (Bekasi sekarang) hingga Sunda Kalapa (Jakarta) sepanjang 12 km untuk mengatasi banjir. kekeringan dan alur transportasi air.
  5. Tahun 419 masehi, Memperbaiki alur dan memperdalam Sungai Citarum sepanjang 300 km, yang mengalir dari Bandung hingga Karawang.

Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur (12 km).

Menunjukkan Tarumanagara telah mengenal sistem irigasi, pertanian/ peternakan, perdagangan lokal maupun global. Selain sebagai pelaut ulung.

Setiap selesai kegiatan, pada masa Purnawarman inilah dikenal Catatan diadakannya upacara Salametan (doa dan Balakecrakan). Tradisi yang masih dilakukan masyarakat Sunda hingga kini abad 21 masehi, Berdoa dan makan bersama setelah selesai acara/kegiatan.

Purnawarman di Indramayu menghadiahkan 400 ekor sapi, 80 ekor kerbau, pakaian bagi para brahmana, 10 ekor kuda, 1 buah bendera Tarumanagara dan bahan makanan.

Pada Masa Pemerintahan Candrawarman (515-535 M), raja Tarumanagara ke-6 Pada tahun 535 M Gunung Krakatau Meletus sangat dashyat menyebabkan tsunami besar dan berdampak pada seluruh dunia.

Berikutnya, Suryawarman (535 - 561 M) melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut.

Rakeyan Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (561 – 618 M) menuntut ilmu hingga ke Mekkah.

Tarumanagara mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669 M, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa.

Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Telapak Kaki

Tidak banyak peradaban di dunia yang menggunakan telapak kaki sebagai peninggalan / simbol kekuasaan. Hanya di tanah Mekkah dalam Kompleks mesjid Masjidil Harram terdapat Maqam Ibrahim. Yang di dalamnya terdapat jejak kaki Nabi Ibrahim pada batu. Kedua di Turki terdapat cetakan kaki Nabi Muhammad SAW.

Sementara pada zaman Tarumanagara (abad 4 hingga 7 masehi) di Tatar Sunda, simbol telapak kaki terdapat pada Prasasti-prasastinya. Berlanjut hingga masa Pakuan Pajajaran abad 16 masehi yang juga meninggalkan Batu Bertapak Kaki di Prasasti Batutulis.

Fakta ini menunjukkan bukti kuat persentuhan budaya dan peradaban terjalin sedemikian lama antara Sunda dan Timur Tengah. Berlayar, berdagang, bermukim bahkan berjuang dan berdakwah bersama telah dilakukan pada Masa Tarumanagara. Yaitu peran tokoh Islam bernama Rakean Sancang, lahir tahun 571 masehi (salah satu putra Raja Tarumanagara ke-8).

Naskah-naskah Kuno yang terkait dengan Tarumanagara, diantaranya berjudul :

  1. Pararatwan Sundawamsatilaka;
  2. Serat Ghaluh i Bhumi Sagandhu;
  3. Pustaka Tarumarajyaparwawarnana;
  4. Pustaka Warmanwamsatilaka i Bhumi Dwipantara;
  5. Pustaka Serat Raja-raja Jawadwipa;
  6. Serat Purnawarmanah Mahaprabhawu Raja i Tarumanagara;
  7. Pustaka Sang Resi Ghuru.
  8. Pustaka Nagara Nusantara;

Terdapat tujuh bukti prasasti yang berhubungan dengan kerajaan Tarumanagara ditemukan di daerah Jawa Barat, Jakarta dan Banten. Prasasti tersebut di antaranya adalah prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi I, Jambu, Pasir Awi, dan Muara Cianten di dekat Bogor; prasasti Tugu di Jakarta Utara; dan prasasti Cidanghiang di Pandeglang, Banten. [2]

Sumber sejarah

Data arkeologi

Sejarah Kerajaan Tarumanegara bersumber dari sejumlah prasasti yang berasal dari abad ke-5 Masehi. Prasasti tersebut diberi nama berdasarkan lokasi penemuannya, yaitu prasasti Ciaruteun, prasasti Pasir Koleangkak, prasasti Kebonkopi, prasasti Tugu, prasasti Pasir Awi, prasasti Muara Cianten, dan prasasti Cidanghiang. Prasasti menyebutkan nama raja yang berkuasa adalah Purnawarman.

Prasasti Kebon Kopi (Prasasti Tapak Gajah)

Lokasi prasasti ini di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Prasasti ini ditemukan pada awal abad XIX oleh N.W. Hoepermans, tertulis pada bongkahan andesit rata dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dinamakan prasasti Tapak Gajah karena diapit oleh sepasang gambar kaki telapak gajah. Pahatan pada prasasti ini tidak terlalu dalam sehingga seiring dengan bertambahnya waktu tulisan pada prasasti sulit untuk terbaca.

Alih aksara:

"-- -- jayavisalasya tarume(ndra)sya ha(st)ina? -- -- (°aira) vatabhasya vibhatidam=padadvaya? ||" yang artinya “Di sini tampak sepasang tapak kaki ... yang seperti (tapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam ... dan (?) kejayaan”.

Prasasti Tugu

Prasasti Tugu di Museum Nasional

Lokasi saat ini Prasasti Tugu di Kampung Batu Tumbuh, Kelurahan Tugu, Kecamatan Koja, Kota Jakarta Utara. Prasasti ini keluar pada masa pemerintahan Punawarman ditemukan pada abad ke-X Masehi tertulis dalam bahasa Sanskerta, aksara Pallawa dalam bentuk sloka dengan metrum anustubh. Dari sekian prasasti yang ditemukan saat pemerintahan raja Purnawarman, prasasti Tugu adalah yang terlengkap walaupun tidak menuliskan angka tahun.

Prasasti Tugu menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.

Prasasti Cidanghiang (Prasasti Munjul)

Lokasi prasasti ini di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kapubaten Pandeglang. Lokasinya masih insitu, ditemukan di tepi Ci Danghiang. Pada prasasti ini tertulis dalam bahasa Sanskerta, dengan aksara Pallawa dan metrum anustubh, tampak keausan dan permukaan yang ditutupi lumut pada permukaan prasasti ini namun tulisan masih dapat dibaca.[3] Isi dari prasasti ini merupakan pujian dan pengagungan terhadap raja Purnawarman. Prasasti ini pertama kali ditemukan pada tahun 1947 oleh Toebagus Roesjan dan diteliti pada tahun 1947.

Alih aksara dari prasasti yaitu:

(1) "vikranto ‘yam vanipateh | prabhuh satyapara[k]ramah" yang berarti "Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia" (2) "narendraddhavajabhutena | srimatah purnnavarmanah" yang berarti "Yang Mulia Purnnawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”.

Prasasti Ciaruteun

Lokasi Prasasti Ciaruteun di Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor ditemukan di aliran Ci Aruteun, Bogor pada tahun 1863, prasasti ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Prasasti Ciaruteun A yang tertulis dengan bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa terdiri atas 4 baris puisi India (irama anustubh), dan Prasasti Ciaruteun B berisikan goresan telapak kaki dan motif laba-laba yang belum diketahui maknanya, menurut juru kunci Prasasti Ciaruteun, simbol yang terdapat pada prasasti tersebut menandakan Raja Purnawarman yang gagah perkasa dan berkuasa. Prasasti ini memiliki ukuran 2 meter dengan tinggi 1,5 meter, berbobot 8 ton.

Alih aksara dari prasasti ini yaitu:

Baris pertama: vikkrantasya vanipateh

Baris kedua: srimatah purnnavarmmanah

Baris ketiga: tarumanagarendrasya

Baris keempat: visnor=iva padadvayam ||[4]

Artinya:

“Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnnawarman, raja di negara Taruma (Tarumanagara), raja yang gagah berani di dunia”.[4]

Berdasarkan pesan yang terdapat pada Prasasti Ciaruteun kita mengetahui bahwa prasasti ini dibuat pada abad ke-V dan menginformasikan bahwa pada masa lalu terdapat Kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Raja Purnawarmanyang memuja Dewa Wisnu yang telah dipengaruhi oleh kebudayaan India dan terbukti pada nama raja yang berakhiran -warman (alih bahasa dari -varman) serta tapak kaki yang menandakan kuasa pada zamannya.Pada tahun 1863, prasasti ini sempat hanyut diterjang banjir sehingga tulisan yang ada menjadi terbalik, kemudian pada 1903 prasasti ini dikembalikan ke tempat semula, dan pada 1981 barulah prasasti ini dilindungi.

Prasasti Muara Cianten

Lokasi Prasasti Muara Cianten di Kampung Muara, Desa Ciaruteun, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1864 oleh N.W. Hoepermans dan beberapa tokoh lainnya, ukuran Prasasti Muara Cianten sekitar 2,7 x 1,4 x 1,4 meter dengan jenis batu andesit, hingga saat ini isi prasasti ini belum dapat dibawa sebab menggunakan huruf sangkha atau ikal seperti huruf pada Prasasti Pasir Awi dan Ciaruteun B.

Prasasti Jambu (Prasasti Pasir Koleangkak)

Lokasi Prasasti Jambu di Desa Parakan Muncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, tempat ditemukannya prasasti ini merupakan Perkebunan Karet Sadeng Djamboe pada masa Kolonial Belanda, Prasasti ini ditemukan pada tahun 1854 oleh Jonathan Rigg yang diperkirakan dibuat pada abad ke-V. Tulisan pada prasasti ini dipahat pada batu menyerupai segitiga berukuran sekitar 2–3 meter tiap sisinya, tertulis dalam huruf Pallawa, dengan bahasa Sanskerta dan terdapat pahatan sepasang telapak kaki.

Alih aksara dari prasasti ini yaitu:

śrīmān=dātā kṛtajño narapatir=asamo yah purā [tā]r[ū]māya[ṃ] / nāmnā śrīpūrṇṇavarmmā pracuraripuṡarābhedadyavikhyātavarmmo / tasyedam=pādavimbadbadvayam=arinagarotsāda ne nityadakṣam / bhaktānām yandripāṇām=bhavati sukhakaraṃ śalyabhūtaṃ ripūṇām.

Arti dari aksara ini yaitu:

“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya – Yang Termashur Sri Purnnawarman – yang sekali waktu (memerintah) di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”.[5]

Berita asing

Sumber berita lain yang membuktikan berdirinya Kerajaan Tarumanagara berasal dari berita Cina, berupa catatan perjalanan Fa-Hien (penjelajah dari Cina) dalam bentuk buku dengan judul "Fa-Kuo-Chi" menyebutkan bahwa pada awal abad ke-5 M, di Ye-Po-Ti banyak orang Brahmana dan animisme.[6]

Pada tahun 414 M Fa-Hien datang ke tanah Jawa untuk membuat catatan sejarah kerajaan To-lo-mo (Kerajaan Tarumanagara), dan singgah di Ye-Po-Ti selama 5 bulan.[7] Selain itu, berita Dinasti Sui menuliskan bahwa pada tahun 528 dan 535, utusan To-lo-mo telah datang dari sebelah selatan. Berita Dinasti Tang menuliskan bahwa pada tahun 666 dan 669 utusan To-lo-mo telah datang. Dari berita tersebut dapat diketahui bahwa Kerajaan Tarumanagara berkembang antara tahun 400600 M, yang pada saat itu masa kepemimpinan Raja Purnawarman dengan wilayah kekuasaan hampir seluruh Jawa Barat.[7]

Naskah Wangsakerta

Naskah Wangsakerta menjadi polemik di kalangan sejarawan, sebab naskah-naskah ini diragukan keasliannya sehingga sulit untuk dijadikan patokan sejarah. Sebelumnya, pada tahun 1980-an polemik di majalah, surat kabar, kalangan arkeolog terjadi bahkan sampai diangkat ke percaturan nasional. Penulisan Naskah Wangsakerta diklaim berlangsung selama 21 tahun dibawah pimpinan Pangeran Wangsakerta menggunakan kertas daluang dan tinta hitam dan bertahan selama 100 tahun sehingga dapat dikatakan bahwa naskah yang ada di Museum Sri Baduga merupakan naskah salinan.

Isi dari naskah ini mendeskripsikan mengenai sejarah pulau-pulau di Nusantara. Bahkan uraian sejarah tertulis lengkap dan terperinci mulai dari kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara hingga daftar raja-raja yang memerintah lengkap beserta angka tahun pemerintahannya tertulis secara rinci. Naskah Wangsakerta terdiri atas 5 karangan dengan judul Carita Parahyangan, Nagarakrebhumi, Pustaka Dwipantaraparwa, Pustaka Pararatwan, Pustaka i Bhumi Jawadwipa dan Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara. Polemik muncul sebab naskah-naskah ini mirip tulisan buku sejarah modern dan begitu lengkap.[8]

Penguasa Tarumanagara

Sejauh ini, sumber primer berupa prasasti hanya menyebutkan satu raja, yakni Purnawarman sebagai raja Tarumanagara. Silsilah nenek moyang maupun keturunan Purnawarman sama sekali tidak disebutkan dalam prasasti manapun.

Naskah Wangsakerta yang konon pernah disusun pada abad ke-17 setelah era Kerajaan Tarumanagara menyebutkan setidaknya terdapat 12 raja yang pernah memimpin Tarumanagara. Diawali dengan Jayasingawarman sebagai raja pertama dan diakhiri oleh Linggawarman sebagai raja terakhir. Masih menurut Wangsakerta, kerajaan Tarumanagara jatuh pada menantu dari putri sulungnya yaitu Tarusbawa dari Kerajaan Sunda. Tarusbawa lebih menginginkan kerajaannya sendiri yaitu Sunda. Namun, hal tersebut tidak dapat dibuktikan secara pasti kapan Kerajaan Tarumanagara berakhir mengingat Naskah Wangsakerta baru ditulis 1.000 tahun setelah kejadian sebenarnya.

Kehidupan di Tarumanagara

Kehidupan politik pada masa Kerajaan Tarumanagara diketahui berdasarkan prasasti yang telah ditemukan. Berdasarkan prasasti tersebut, raja yang berhasil meningkatkan kehidupan rakyat adalah Raja Purnawarman yang dibuktikan dalam prasasti tugu yang menuliskan bahwa penggalian kali yang dilakukan membuat kehidupan rakyat makmur dan merasa aman. Selanjutnya, kondisi sosial pada masa pemerintahan Raja Purnawarman terus meningkat dengan memperhatikan kedudukan kaum Brahmana sebagai tanda penghormatan kepada para dewa. Agama yang dianut oleh Raja Purnawarman dan rakyatnya adalah Hindu Siwa dengan kaum Brahmana sebagai pemegang peran penting dalam upacara. Sikap toleransi beragama pada masa ini cukup tinggi dibuktikan dengan adanya agama Budha dan agama nenek moyang (animisme).

Prasasti tugu menuliskan bahwa Raja Purnawarman membuat terusan (sepanjang) 6122 tombak yang dipergunakan sebagai sarana lalu lintas pelayaran dan perdagangan dengan daerah sekitarnya (Kalimalang (?)). Hal ini menandakan kehidupan ekonomi rakyatnya tertata rapi. Selain itu, kehidupan budaya pada masa itu sudah berada di dalam taraf tinggi yang ditandai dengan teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti yang memperlihatkan perkembangan budaya tulis menulis.

Peninggalan

Penginggalan-peninggalan yang berasal dari era Kerajaan Tarumanagara berupa tujuh prasasti dan artefak lainnya, sebagai berikut:

Nama situs Artefak Keterangan
Kampung Muara[9] Menhir (3)
Batu dakon (2)
Arca batu tidak berkepala
Struktur Batu kali
Kuburan (tua)
Ciampea[10] Arca gajah (batu) Rusak berat
Gunung Cibodas[11] Arca Terbuat dari batu kapur
3 arca berdiri
arca raksasa
arca (?) Fragmen
Arca dewa
Arca dwarapala
Arca Brahma Duduk diatas angsa
(Wahana Hamsa)
dilengkapi padmasana
Arca (berdiri) Fragmen kaki dan lapik
(Kartikeya?)
Arca singa (perunggu) Mus.Nas.no.771
Tanjung Barat[11] Arca Siwa (duduk) perunggu Mus.Nas.no.514a
Tanjungpriok[11] Arca Durga-Kali Batu granit Mus.Nas. no.296a
Tidak diketahui Arca Rajaresi[12] Mus.Nas.no.6363
Cilincing sejumlah besar pecahan settlement pattern
Buni perhiasan emas dalam periuk settlement pattern
Tempayan
Beliung
Logam perunggu
Logam besi
Gelang kaca
Manik-manik batu dan kaca
Tulang belulang manusia
Sejumlah besar gerabah bentuk wadah
Batujaya (Karawang) Unur (hunyur) sruktur bata Percandian
Segaran I
Segaran II
Segaran III
Segaran IV
Segaran V
Segaran VI
Talagajaya I
Talagajaya II
Talagajaya III
Talagajaya IV
Talagajaya V
Talagajaya VI
Talagajaya VII
Cibuaya[13] Arca Wisnu I
Arca Wisnu II
Arca Wisnu III
Lemah Duwur Wadon Candi I
Lemah Duwur Lanang Candi II
Pipisan batu

Referensi

  1. ^ a b Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor (2 Desember 2015). "Prasasti Ciaruteun". bogorkab.go.id. Diakses tanggal 13 Oktober 2022. 
  2. ^ R. Soekmono (1988) [1973]. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (edisi ke-5th reprint). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 
  3. ^ "Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-03. Diakses tanggal 2020-08-01. 
  4. ^ a b bpcbbanten (2019-12-23). "Prasasti Ciaruteun". Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-08. Diakses tanggal 2020-08-02. 
  5. ^ bpcbbanten (2019-12-23). "Prasasti Jambu (Prasasti Pasir Koleangkak)". Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-02. 
  6. ^ "Portal Sejarah Indonesia dan Dunia: Sejarah Kerajaan Tarumanegara: Ringkasan Komplet". Portal Sejarah Indonesia dan Dunia. Diakses tanggal 2020-08-03. 
  7. ^ a b Thabroni, Gamal (2020-07-28). "Kerajaan Tarumanegara: Sejarah, Kejayaan, Silsilah, Keruntuhan, dsb". serupa.id. Diakses tanggal 2020-08-03. 
  8. ^ Lubis, Nina (2002, Februari). "Kontroversi Tentang Naskah Wangsakerta" (PDF). Humaniora. 14 (1): 20–26. 
  9. ^ Indriani, Ririn (2020-04-30). "Ini 7 Prasasti Bukti Kerajaan Tarumanegara, Materi Belajar dari Rumah TVRI". Suara.com. Diakses tanggal 2020-08-03. 
  10. ^ "Prasasti Ciaruteun, Jejak Kerajaan Tarumanagara di Bogor". Holamigo - Portal Travel Indonesia. 2020-03-01. Diakses tanggal 2020-08-03. [pranala nonaktif permanen]
  11. ^ a b c "Kerajaan Tarumanagara - Sejarah, Letak, Raja, Runtuhnya, Peninggalan". StudioBelajar.com (dalam bahasa Inggris). 2020-07-29. Diakses tanggal 2020-08-03. 
  12. ^ "Tarumanagara - 400 M". Diakses tanggal 2020-08-03. 
  13. ^ Wirata, I. Wayan (2020-03-13). "17 Peninggalan Kerajaan Tarumanegara (Candi, Prasasti, Arca) - Lengkap • Katamasa". Katamasa. Diakses tanggal 2020-08-03. 
Kembali kehalaman sebelumnya