Fachir menyelesaikan pendidikan dasarnya di Banjarmasin, lalu pada tahun 1972 ia berangkat ke Pulau Jawa untuk mengenyam pendidikan tingkat menengah di Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar dan Pondok Modern Darussalam Gontor. Tahun 1978, ia bertolak menuju ibu kota negara guna melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra dan Bahasa Arab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah). Selama kuliah di "Kampus Pembaharu" yang beralamat di Ciputat tersebut, ia pernah mengikuti pertukaran pemuda ASEAN-Jepang yaitu The Ship for Southeast Asian and Japanese Youth Program (SSEAYP) in 1978.
Fachir termasuk salah satu pemain band kampus. Ia dikenal sebagai seniman. Ia juga aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia pernah menjabat Ketua LSMI (Lembaga Seni Mahasiswa Islam) ketika Azyumardi Azra menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat periode 1981–1982.
Fachir diwisuda sebagai sarjana bergelar doctorandus (Drs) pada bulan Agustus 1983, setelah dinyatakan lulus dalam ujian skripsi. Judul skripsinya adalah “Taatstsur al-Natsr al-Hadits bi al-Harakat al-Wathoniyyah fi Mishra” (Terpengaruhnya Prosa Modern oleh Gerakan Nasionalisme di Mesir), yang disusun dalam bahasa Arab.[1]
Pada awal Mei 2010, Fachir mendaftar kuliah S3 Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Minat Kajian Timur Tengah di Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Setelah melewati masa studi selama 5 tahun 5 hari, ia berhasil mempertahankan disertasinya berjudul “Ketimpangan Hubungan Indonesia-Mesir 1950–2010: Kajian Resiprositas”, pada 5 Mei 2015.[2] Fachir dinyatakan lulus dengan predikat "sangat memuaskan" dan berhak menyandang gelar doktor.[3]
Karier diplomat
Pada bulan November 1983, Fachir diterima sebagai PNS di Kementerian Luar Negeri. Ia memulai karier di kementerian yang saat itu dipimpin oleh Prof. Dr. Mochtar Kusuma Atmadja, SH sebagai Pjs. Kepala Seksi Dewan Keamanan PBB Direktorat Organisasi Internasional pada tahun 1985.
Tahun 1988 Fachir ditugaskan di KBRIBaghdad sampai tahun 1992, saat-saat terjadinya invasi Irak terhadap Kuwait yang kemudian menyulut Perang Teluk I. Dalam peperangan yang berkecamuk, Fachir bersama para staf KBRIBaghdad harus mengungsikan ratusan WNI, sebagian besar TKW, keluar dari Baghdad menuju Yordania. "Itulah kali pertama saya sebagai diplomat harus menyelamatkan para WNI ke Tanah Air. Tidak saja di Baghdad, namun juga mereka yang berada di Kuwait City. Perjalanan harus lewat darat sejauh ratusan kilometer untuk setiap kali misi dan ini berlangsung dalam beberapa kali misi. Bahkan, mobil kami pernah kena tembak. Tapi Alhamdulillah selamat," kenang Fachir.[4]
Sepulang dari negeri Saddam Hussein, Fachir lalu diperbantukan pada Badan Pelaksana Ketua Gerakan Non Blok (GNB) saat Indonesia memimpin GNB (1992–1995) dan kemudian menempati pos di Perutusan Tetap RI untuk PBB di New York sebagai Penanggung jawab Satuan Tugas GNB pada tahun 1995–1999. Fachir kemudian ditunjuk sebagai Kepala Subdit Politik dan Keamanan, Direktorat Organisasi Internasional Kementerian Luar Negeri, sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Panitia Kerja Tetap Antar Departemen pada tahun 1999–2002 . Setelah itu, ia dipercaya sebagai Kepala Biro Naskah dan Penerjemahan Sekretariat Negara sekaligus sebagai Penerjemah Resmi PresidenMegawati Soekarnoputri tahun 2002–2004.[5]
Tahun 2004 Fachir diangkat menjadi Wakil Kepala Perwakilan di Malaysia, dan menjadi Kuasa Usaha Ad Interim semenjak berakhirnya masa jabatan Duta BesarRusdiharjo, pada Februari 2007. Meskipun hanya kurang satu tahun menjabat Kuasa Usaha Ad Interim di Malaysia, ia telah banyak melakukan perubahan. Antara lain, pengurusan paspor tidak bisa lagi melalui agen. Yang bersangkutan harus mengurus langsung. Peran Satgas Perlindungan dan Pelayanan WNI di KBRIKuala Lumpur juga sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Begitu banyak kasus yang berhasil ditangani, walaupun masih ada yang sedikit tercecer.[6]
“Ini duta besar baru dan ini baru duta besar,” demikian puji Ketua Umum Pengurus Pusat MuhammadiyahProf. Dr. Din Syamsuddin kepada Duta Besar Fachir atas keberhasilannya menyelenggarakan lokakarya bertemakan “Dukungan Terhadap Peningkatan Prestasi Mahasiswa Indonesia di Mesir”. Fachir dipuji di hadapan Menteri AgamaMaftuch Basyuni, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno, Ketua Umum PBNUHasyim Muzadi, Presidium ICMI Marwah Daud Ibrahim dan lebih dari 1.500 mahasiswa yang memadati Azhar Conference Centre (ACC), tempat diselenggarakannya lokakarya, 12-13 April2008.
“Mahasiswa kita itu 'kan aset bangsa. Sementara yang namanya Al-Azhar itu warisan keilmuannya luar biasa. Namun mengapa banyak mahasiswa Indonesia di Mesir yang mengalami hambatan dalam belajar, sehingga lebih dari separoh terlambat menyelesaikan studinya dan tidak dapat mengoptimalkan kebesaran Al-Azhar,” jelas Fachir mengenai alasan diselenggarakannya lokakarya.[8]
Berkat lokakarya tersebut, kini tingkat keberhasilan studi mahasiswa Indonesia di Mesir telah meningkat secara menggembirakan. Pada awal kedatangan Fachir tahun 2007, 59 % dari sekitar 6.000 mahasiswa gagal dalam studinya. Angka tersebut membaik pada tahun 2008 dengan 67 % mahasiswa berhasil dalam studinya. Angka terakhir pada tahun 2010 menunjukkan 75 % berhasil dalam pembelajarannya di Mesir.[9]
Syeikh Al-Azhar Ahmed Tayeb saat menerima kunjungan pamitan Fachir, sempat berkelakar bahwa jika 75 % kelulusan mahasiswa Indonesia dapat dicapai selama kepemimpinan Fachir yang hanya 3,5 tahun, maka jika Fachir bertugas selama 5 tahun Insyaallah kelulusan bisa mencapai 100 %.[10]
Masih di bidang pendidikan, Fachir meninggalkan kenang-kenangan kepada Al-Azhar berupa sistem pendataan mahasiswa Indonesia yang diberi nama SIMADU “Sistem Informasi Terpadu” dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Sistem ini bisa digunakan oleh Al-Azhar untuk mengecek data mahasiswa Indonesia di Mesir.[10]
Selain itu, Fachir telah menggagas berdirinya asrama untuk mahasiswa. Tentu ini merupakan peninggalan yang baik yang akan selalu dikenang oleh mahasiswa generasi selanjutnya. Ia telah menghimpun dana sebesar 14 miliar yang berasal dari Pemerintah Indonesia baik pusat maupun provinsi, dan telah diserahkan ke pihak Al-Azhar. Diharapkan keberadaan asrama itu mampu mendukung kesuksesan studi mahasiswa Indonesia di Mesir.
Gagasan Fachir itu dilanjutkan Duta Besar berikutnya, Nurfaizi Suwandi, yang mulai bertugas sejak akhir bulan Januari 2012. Pada tanggal 6 Februari 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meletakkan batu pertama pembangunan asrama yang terdiri dari 4 bangunan seluas 1.200 m2 dengan 324 kamar. Bertempat di komplek asrama Al-Azhar, peletakan batu pertama itu disaksikan oleh Wakil Syaikh Al-Azhar Syaikh Abdu Tawab Qutub, Wakil Rektor Farid Hamada, Wakil Menteri Agama RI Nasaruddin Umar, para pejabat KBRI Cairo dan sejumlah mahasiswa di Kairo.[11]
Sebagai wujud dukungan atas pembangunan asrama tersebut, pada tanggal 25 Februari 2014, Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menyepakati usulan dana hibah sebesar 2,94 juta dolar AS.[12]
Bidang politik
Hubungan Indonesia dan Mesir di bidang politik selama Fachir menjadi duta besar, tampak mesra dan harmonis. Di berbagai kesempatan, Fachir yang fasih berbahasa Arab dan Inggris selalu mengatakan bahwa Mesir adalah saudara dan sahabat Indonesia, karena Mesir adalah negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Begitu Presiden Mubarak mengundurkan diri, Indonesia berada di samping Mesir untuk membangun negara demokasi. Indonesia pernah diminta Mesir untuk berbagi pengalaman dalam melewati masa transisi demokrasi, karena Indonesia dipandang memiliki pengalaman sukses. Pada tanggal 5-6 Juni 2011, Prof Dr. Ing. B.J. Habibie, (Presiden Indonesia 1998–1999) dan Prof. Dr. Amien Rais (Ketua MPR 1999–2004) diundang ke Kairo untuk berbicara pada Forum Internasional bertajuk "Pathways on Democratic Transitions – International Experiences and Lessons Learned”, yang disponsori United Nations National Development.[14]
Bidang perdagangan
Selama Fachir menjadi Duta Besar di Mesir, kerja sama perdagangan Indonesia dan Mesir mengalami peningkatan yang pesat. Pada tahun 2006, angka perdagangan kedua negara masih tercatat pada kisaran US$ 500 juta. Angka tersebut naik menjadi dua kali lipatnya hanya dalam tempo dua tahun, yaitu pada 2008 menjadi US$ 1 miliar, menjadikan Mesir sebagai pasar non-tradisional terbesar Indonesia. Pada tahun 2010 ketika perdagangan kedua negara terpengaruh krisis ekonomi global, angka perdagangan masih berada pada posisi US$ 1 miliar, di mana 80% merupakan surplus bagi Indonesia.[15]
Investasi Indonesia di Mesir akan terus berlanjut karena pasar Mesir merupakan pasar penarik investasi terpenting mengingat banyaknya potensi dan kesempatan. Investasi Indonesia di Mesir terfokuskan di 3 sektor utama: yaitu industri tenun, gelas dan produksi pangan. Saat ini, Indonesia memiliki tiga perusahaan yang beroperasi di Mesir dengan nilai investasi tidak kurang dari US$ 250 juta.[16]
Bidang sosial dan budaya
Di bidang sosial budaya, Pusat Kebudayaan dan Informasi Indonesia (PUSKIN) berhasil meningkatkan jumlah peserta kursus bahasa Indonesia bagi warga Mesir, dari tahun ke tahun. Fachir melihat peran penting warga Mesir yang bisa berbahasa Indonesia dalam merevitaliasai hubungan Indonesia dan Mesir, khususnya dari kalangan pemuda yang akan menjadi penentu masa depan Mesir. Semakin luasnya penguasaan bahasa Indonesia di kalangan pemuda Mesir akan sangat menunjang aktualisasi potensi kerja sama Indonesia dan Mesir yang bersifat komplementer.[17]
Siswa-siswi PUSKIN yang berlatar belakang beragam profesi, seperti pengacara, usahawan, agen perjalanan, mahasiswa dan lain-lain dengan kemampuan bahasa Indonesianya dapat didayagunakan oleh pemangku kepentingan di Mesir dan di Indonesia untuk menopang upaya revitalisasi hubungan bilateral kedua negara, di bidang ekonomi dan perdagangan, sosial-bidaya serta berbagai bidang lainnya.[17]
Selain bidang-bidang tersebut di atas, Fachir berhasil menerbitkan buku Potret Hubungan Indonesia-Mesir yang sangat fenomenal dalam bahasa Indonesia dan Arab. Buku itu memotret hubungan Indonesia-Mesir sejak dahulu kala sebelum kemerdekaan sampai tahun 2009. Buku versi bahasa Indonesia diberi kata pengantar Menteri Luar Negeri (saat itu) Hassan Wirajuda, dan versi bahasa Arab diberi kata pengantar Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Aboul Gheit. Secara simbolis, buku versi bahasa Arab tersebut diluncurkan pada peringatan 63 hubungan diplomatik yang dikemas dalam perayaan “Malam Indonesia-Mesir” di tempat pertunjukan termegah di Mesir, Cairo Opera House, tanggal 11 Juni 2010, yang dihadiri lebih dari 1.000 friends of Indonesia yang terdiri dari unsur pemerintahan, akademisi, budayawan dan berbagai kalangan lainnya. Hadir juga, Menteri Kebudayaan Mesir Farouk Hosny dan Menteri Pendidikan Tinggi Mesir Hany Hilal mewakili Pemerintah Mesir, Ketua Lembaga Persahabatan Mesir-Indonesia Said Imarah, Ketua Egyptian-Indonesian Business Council, Mohamed Baraka serta wakil keluarga mantan Sekretaris Jenderal Liga Arab, Azzam Pasha yang berperan dalam upaya perolehan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Mesir dan negara-negara Timur Tengah.[18]
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik
Fachir dilantik oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sebagai Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi pada 25 Oktober 2011. Ia menggantikan Andri Hadi yang sekarang menempati tugas baru sebagai duta besar di Singapura.[19] Ia bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang informasi dan diplomasi publik, yang membawahi 4 (empat) direktorat, yaitu Direktorat Informasi dan Media, Direktorat Diplomasi Publik, Direktorat Keamanan Diplomatik dan Direktorat Kerjasama Teknik.
Selama dua tahun lima bulan bertugas sebagai Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Fachir telah berhasil mengkonsolidasikan program kerja sama teknik Indonesia. "Kerja sama teknis RI lebih terkonsolidasi dan memiliki roadmap yang jelas," puji Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada saat serah terima jabatan Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik (IDP) di Kementerian Luar Negeri, (7/3/2014). Ditambah lagi pengakuan negara-negara di dunia terhadap Bali Democracy Forum yang kini semakin tinggi dan semakin berkembang. "Melalui kerja keras, forum yang dulunya kurang dikenal, menjadi sangat penting baik di kawasan maupun secara global, ini merupakan kontribusi nyata," tambah Menteri Luar Negeri.[20]
Setelah menyelesaikan tugas di Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar NegeriRepublik Indonesia, Fachir tiba di Riyadh tanggal 25 Maret 2014 dengan didampingi istrinya, Yasmin Sukmawira. Tidak perlu menunggu waktu lama, keesokan harinya tanggal 26 Maret 2014 segera dilakukan serah terima jabatan Kepala Perwakilan RI di Riyadh dari Kuasa Usaha Ad Interim, Eddy Basuki, kepada Fachir.[22]
Pada tanggal 31 Maret 2014, Fachir menyerahkan salinan Credentials kepada Wakil Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdul Aziz yang juga putra Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud. Acara tersebut dihadiri oleh beberapa pejabat Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, antara lain adalah Direktur Asia, Musthofa Kautsar dan Kepala Urusan Protokol, Azzam bin Abdul Karim Al-Gain.[23]
Dalam kesempatan itu, Fachir menyampaikan bahwa ia telah menerima penugasan untuk mewakili Indonesia dengan misi mempererat hubungan dan mempromosikan kerja sama bilateral. Karena itu, ia sangat mengharapkan dukungan Pemerintah Arab Saudi bagi pelaksanaan misi tersebut. Fachir juga menyampaikan bahwa hubungan bilateral antara kedua negara, semakin hari semakin meningkat ditandai adanya saling kunjung antarpejabat kedua negara. Di bidang ekonomi dan perdagangan, kerja sama kedua negara juga semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama di bidang perdagangan yang pada tahun 2013 lalu mencapai sekitar US$ 8 miliar.[24]
Selain itu, Fachir menyinggung hubungan people to people contact yang terjalin dengan baik dan terefleksikan dari kunjungan lebih dari 700.000 Warga Negara Indonesia (WNI) untuk melaksanakan haji dan umroh pada tahun 2013. Terkait dengan keberadaan WNI di Arab Saudi yang berjumlah kurang lebih 1,3 juta jiwa, Fachir menyampaikan keyakinannya bahwa keberadaan mereka turut memberikan kontribusi bagi pembangunan di Arab Saudi, dan karena itu ia mengharapkan bantuan pemerintah Arab Saudi untuk bekerja sama dalam rangka mengelola keberadaan WNI tersebut agar bermanfaat bagi kedua belah pihak.[24]
Dalam tanggapannya, Wakil Menteri Luar Negeri Arab Saudi menyampaikan selamat datang dan sepenuhnya akan membantu tugas Fachir dalam melaksanakan misinya. Putra Raja Arab Saudi itu menekankan sifat hubungan persaudaraan yang sudah terbina dengan baik antar-kedua negara kiranya dapat benar-benar diterjemahkan dalam kerja sama konkret di segala bidang. Menurutnya, potensi kedua negara dalam bidang kerja sama ekonomi dan perdagangan perlu benar-benar dijajaki dengan mendorong para pelaku bisnis untuk mengkonkritkan kerja sama ekonomi dan pembangunan yang saling menguntungkan.[24]
Pada tanggal 29 Agustus 2014, Fachir menyerahkan Credentials kepada Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud. Penyerahan itu dilakukan di Istana Kerajaan di Kota Jeddah. Fachir pada kesempatan itu menyampaikan salam dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan harapan kiranya Raja atau Putra Mahkota atau Wakil Putra Mahkota berkenan berkunjung ke Indonesia. Menanggapi hal itu, Raja menjawab, “Insyaallah”.[25]
Bersama Fachir, terdapat 35 duta besar lain yang juga menyerahkan Credentials. Seusai prosesi penyerahan Credentials, Raja Abdullah secara khusus meminta agar para duta besar menyampaikan pesan kepada para pemimpin negara masing-masing terkait semakin gentingnya bahaya terorisme dan harapan agar lebih meningkatkan kerja sama sehingga benar-benar efektif dalam memeranginya.[25]
Wakil Menteri Luar Negeri
Menurut jadwal, pada hari Minggu, tanggal 26 Oktober 2014 Fachir seharusnya berangkat dari Riyadh menuju Jeddah lalu ke Mekah. Hari itu rencananya ia akan melepas jamaah haji Indonesia gelombang kedua terakhir dari Mekah ke Madinah. Namun secara mendadak ia membatalkan penerbangan karena mendapat telepon dari protokol Istana yang memberitahukan bahwa ia akan dilantik sebagai Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia.[26]