Invasi Persia pertama ke Yunani adalah invasi yang dilakukan oleh Kekaisaran Persia terhadap negara kota di Yunani pada Perang Persia. Invasi ini dimulai pada tahun 492 SM, dan berakhir dengan kemenangan telak Athena pada Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM. Invasi ini terdiri dari dua kampanye terpisah, dan dilakukan atas perintah kaisar Persia Darius I dengan tujuan menghukum Athena dan Eretria, karena kedua negara kota itu telah membantu negara kota di Ionia selama melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Persia. Selain itu Darius juga melihat kesempatan untuk memperluas kekuasaannya ke Eropa, serta mengamankan perbatasan baratnya.
Kampanye pertama pada 492 SM, dipimpin oleh Mardonios, berhasil menduduki kembali Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi negara klien Persia. Akan tetapi, armada Mardonios dihantam badai di lepas pantai Gunung Athos sehingga kampanye itu harus dihentikan. Setahun kemudian, Darius mengirim utusan ke semua negara kota Yunani, meminta mereka untuk tunduk pada Persia. Hampir semua negara kota bersedia tunduk, kecuali Athena dan Sparta. Kedua negara kota itu bahkan membunuh utusan Darius. Akibatnya, Darius memerintahkan untuk dilaksanakannya kampanye selanjutnya.
Kampanye kedua, pada tahun 490 SM, dilakukan di bawah komando Datis dan Artaphernes. Pertama-tama, ekspedisi diarahkan ke Pulau Naxos, yang berhasil ditaklukkan dan dibakar. Armada Persia kemudian mendatangi pulau-pulau lainnya di Kepulauan Kyklades dan mereka menaklukkan tiap pulau yang mereka datangi. Setelah itu pasukan Persia berlabuh di Eretria, yang kemudian dikepung, dan setelah beberapa hari, berhasil ditaklukkan. Eretria dihancurkan dan penduduknya dijadikan budak. Pada akhirnya pasukan Persia bergerak menuju Attika, mendarat di Marathon dan hendak menuju Athena. Tapi di sana pasukan Persia harus menghadapi pasukan Athena. Meski berjumlah lebih sedikit, pasukan Athena berhasil meraih kemenangan dan mengalahkan Persia pada Pertempuran Marathon.
Kekalahan ini membuat pasukan Persia terpaksa kembali ke Asia. Meski gagal meraih keberhasilan penuh, tetapi pasukan Persia berhasil melaksanakan sebagian tujuan kampanye, yaitu menghukum Naxos serta Eretria dan menguasai sebagian besar wilayah Aigea. Namun, Darius masih tidak puas dengan kekalahan dari Athena, oleh karena itu dia bersiap melaksanakan kampanye berikutnya. Akan tetapi Darius terlebih dahulu meninggal, sehingga tanggung jawab invasi selanjutnya dikendalikan oleh penerusnya, Xerxes I, yang memimpin invasi kedua Persia ke Yunani, dimulai pada tahun 480 SM.
Sumber utama untuk Perang Yunani-Persia adalah sejarawan Yunani Herodotos. Herodotos, yang disebut sebagai 'Bapak Sejarah',[1] lahir pada tahun 484 SM di Halikarnassos, Asia Kecil (ketika itu dikuasai oleh Persia). Dia menulis karyanya yang berjudul Historia sekitar tahun 440–430 SM, berusaha untuk melacak asal usul Perang Yunani-Persia, yang ketika itu merupakan peristiwa yang belum terlalu lama berlalu (perang itu berakhir pada tahun 450 SM).[2][3] Pendekatan Herodotos sepenuhnya baru, dan setidaknya di masyarakat Barat, dia tampaknya menciptakan 'sejarah' seperti yang kini diketahui.[3] Seperti dinyatakan oleh Holland:[3]
Untuk pertama kalinya, seorang penulis kronik memutuskan untuk melacak asal usul suatu konflik bukan ke masa silam yang begitu jauh demi terlihat menjadi sangat menakjubkan, bukan juga kepada tingkah laku dan keinginan dewa tertentu, bukan kepada klaim orang demi mewujudkan takdir, namun lebih kepada penjelasan yang dapat dia verifikasi secara pribadi.
Banyak sejarawan kuno di kemudian hari yang, meskipun mengikuti jejak penulisan Herodotos, mengkritiknya, bermula dari Thukydides.[4][5] Meskipun demikian, Thukydides memilih untuk memulai catatan sejarahnya pada peristiwa dimana Herodotos menyelesaikan catatannya sendiri, yaitu pada Pengepungan Sestos, dan dengan demikian Thukydides mungkin merasa bahwa tulisan Herodotos sudah cukup akurat sehingga tak perlu dikoreksi atau ditulis lagi.[2][5]Plutarkhos mengkritik Herodotos dalam esainya "Mengenai Kejahatan Herodotos", menggambarkan Herodotos sebagai "Philobarbaros" (pencinta orang barbar), karena menurutnya Herodotos kurang memihak Yunani. Ini menunjukkan bahwa Herodotos kemungkinan telah melakukan penulisan sejarah yang cukup netral dan tidak terlalu berat sebelah.[6]
Pandangan negatif tentang Herodotos berlanjut hingga Eropa Renaisans, meskipun karyanya tetap banyak dibaca.[7] Akan tetapi, sejak abad ke-19 reputasinya secara dramatis mengalami perbaikan akibat temuan-temuan arkeologis yang berulang kali menunjukkan bahwa catatan sejarahnya memang akurat.[8] Pandangan modern yang kini berlaku adalah bahwa Herodotos secara umum melakukan pekerjaan yang baik dalam karyanya Historia, tetapi beberapa rincian spesifiknya (terutama mengenai jumlah pasukan dan tanggal kejadian) harus dicermati dengan skeptisisme.[8] Meskipun demikian, masih ada beberapa sejarawan yang menganggap bahwa banyak bagian dari catatan Herodotos dikarang oleh dirinya sendiri.[9]
Sejarawan Sisilia Diodoros Sikolos, yang menulis pada abad pertama SM dalam karyanya Bibliotheka Historika, juga membuat catatan sejarah mengenai Perang Yunani-Persia, sebagian diambil dari sejarawan Yunani yang lebih awal, Ephoros. Catatan ini cukup konsisten dengan tulisan Herodotos.[10] Perang Yunani-Persia juga diceritakan secara kurang rinci oleh sejumlah sejarawan kuno lainnya termasuk Plutarkhos, Ktesias dari Knidos, dan disinggung oleh beberapa penulis lainnya, misalnya penulis drama Aiskhylos. Bukti Arkeologis, misalnya Tiang Ular, mendukung beberapa klaim spesifik Herodotos.[11]
Invasi pertama Persia ke Yunani berakar langsung pada Pemberontakan Ionia, yang merupakan fase pertama pada Perang Yunani-Persia. Akan tetapi, invasi itu juga merupakan akibat dari hubungan jangka panjang antara orang Yunani dan Persia. Pada tahun 500 SM Kekaisaran Persia masih relatif muda dan amat ekspansionistik, tetapi rawan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa taklukannya.[12][13][14] Lagipula, raja Persia, Darius, adalah seorang perebut takhta,[15] dan telah menghabiskan banyak waktu untuk memadamkan pemberontakan terhadap kekuasaannya.[12][16] Bahkan sebelum Pemberontakan Ionia, Darius telah mulai memperluas Kekaisaran Persia ke Eropa, menaklukkan Thrakia, dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia.[17][18] Upaya ekspansi lebih jauh ke dunia Yunani kuno yang terpecah-pecah kemungkinan tidak dapat terhindarkan.[13] Akan tetapi, Pemberontakan Ionia telah secara langsung mengancam kebersatuan Kekaisaran Persia, dan negara-negara kota di Yunani daratan tetap menjadi ancaman yang potensial terhadap kestabilan Persia pada masa depan.[19] Ini membuat Darius bertekad untuk menguasai dan menenangkan Yunani dan Aigea, serta menghukum negara kota yang terlibat dalam Pemberontakan Ionia.[19][20]
Pemberontakan Ionia bermula dari ekspedisi ke Naxos yang berakhir dengan kegagalan. Upaya tersebut merupakan kerja sama antara satrap Persia Artaphernes dan tiran Miletos, Aristagoras.[21] Kegagalan ekspedisi itu membuat Artaphernes memutuskan untuk melengserkan Aristagoras dari jabatannya, tetapi sebelum itu sempat dilakukan, Aristagoras telah lebih dulu mundur dan memproklamasikan Miletos sebagai negara demokrasi.[21] Kota-kota Ionia lainnya mengikuti langkah ini, menumbangkan para tiran mereka yang ditunjuk oleh Persia, dan menyatakan bahwa mereka adalah negara demokrasi.[21][22][23] Artistagoras kemudian memohon dukungan dari negara-negara kota di Yunani daratan, tetapi hanya Athena dan Eretria yang bersedia mengirim pasukan.[24][25]
Keterlibatan Athena dalam Pemberontakan Ionia muncul dari sederet keadaan yang rumit, bermula dari pendirian Demokrasi Athena pada akhir abad ke-6 SM.[24] Pada tahun 510 SM, dengan bantuan dari Kleomenes I, Raja Sparta, rakyat Athena mengusir Hippias, penguasa tiran dari Athena.[26][27] Keluarga Hippias telah berkuasa selama 50 tahun, dengan ayah Hippias, Peisistratos, memerintah selama 36 tahun. Hippias sendiri sudah berkuasa selama beberapa tahun dan sebenarnya ingin meneruskan kekuasaannya.[27] Setelah diusir dari Athena, Hippias mengungsi ke Sardis, tepatnya di istana satrap Persia, Artaphernes, dan menjanjikan kendali atas Athena kepada Persia jika mereka bersedia membantunya untuk kembali berkuasa.[2][28]
Sementara itu, Kleomenes membantu membangun tirani pro-Sparta dengan menempatkan Isagoras sebagai pemimpin di Athena,[26] bertentangan dengan Kleisthenes, pemimpin keluarga Alkmaionid yang secara teradisional cukup berpengaruh, yang menganggap bahwa mereka sebenarnya merupakan pewaris alamiah atas kekuasaan di Athena.[29] Dengan tanggapan yang berani, Kleisthenes mengemukakan kepada rakyat Athena bahwa dia akan membentuk suatu 'demokrasi' di Athena, yang membuat para anggota aristokrasi ketakutan. Alasan Kleisthenes mengajukan hal yang radikal itu yang membuat keluarganya kehilangan kekuasaan, tidak diketahui; kemungkinan dia merasa bahwa masa-masa kekuasaan aristokrasi akan segara berakhir; yang jelas, dia tak mau Athena menjadi negara boneka Sparta bagaimanapun caranya.[29] Akan tetapi, akibat usulannya, Kleisthenes dan keluarganya diusir dari Athena oleh Isagoras. Namun, rakyat Athena, yang telah dijanjikan demokrasi, memberontak dan mengusir Kleomenes dan Isagoras dari Athena.[30] Setelah itu Kleisthenes memperoleh kembali kekuasaannya di Athena pada tahun 507 SM, dan dengan cepat mulai mendirikan pemerintahan demokrasi. Pendirian demokrasi merevolusi Athena, yang kelak menjadi salah satu kota paling maju di Yunani.[31] Kebebasan dan pemerintahan mandiri yang baru saja diciptakan di Athena bermakna bahwa dengan demikian mereka secara khusus menentang kembalinya penguasa tirani Hippias, atau segala bentuk pendudukan oleh pihak asing, baik oleh Sparta, Persia, maupun oleh bangsa lainnya.[30]
Kleomenes tidak senang dengan semua kejadian itu, dan akhirnya dia berarak ke Athena dengan pasukan Sparta.[32] Usaha Kleomenes untuk memulihkan kekuasaan Isagoras di Athena berakhir dengan kegagalan. Akan tetapi rakyat Athena sudah keburu merasa takut dan memutuskan untuk mengirim utusan kepada Artaphernes di Sardis, untuk memohon bantuan dari Kekaisaran Persia.[26][33] Artaphernes meminta Athena memberinya 'tanah dan air', tanda tradisional untuk ketundukan, yang disetujui oleh utusan dari Athena itu.[33] Akan tetapi, para utusan itu dicela oleh rakyat ketika kembali ke Athena.[33][34] Kleomenes lalu berusaha menghasut suatu plot untuk memulihkan Hippias sebagai penguasa Athena. Rencananya gagal dan lagi-lagi Hippias harus melarikan diri ke Sardis. Hippias lalu membujuk Persia untuk menaklukkan Athena.[35] Athena mengirim utusan kepada Artaphernes untuk mencegahnya mengambil tindakan, tetapi Artaphernes hanya menyuruh orang Athena untuk menerima kembali Hippias sebagai tiran.[24] Orang Athena menolak keras hal ini, dan dengan demikian mereka secara terbuka menyatakan perang kepada Persia.[35] Dengan menjadi musuh Persia, Athena menjadi berada dalam posisi untuk mendukung kota-kota Ionia ketika mereka mulai melakukan pemberontakan.[24] Selain itu, kenyataan bahwa demokrasi Ionia diilhami oleh Athena semakin mendorong Athena untuk mendukung Pemberontakan Ionia, apalagi kota-kota Ionia dipercaya bermula sebagai koloni-koloni Athena.[24]
Kota Eretria juga mengirim bantuan bagi orang Ionia dengan alasan yang tak sepenuhnya jelas. Kemungkinan faktornya adalah alasan perdagangan; Eretria adalah kota dagang, yang perniagaannya terancam oleh dominasi Persia di Aigeia.[24] Herodotos berpendapat bahwa Eretria mendukung pemberontakan sebagai balasan karena dulu orang Miletos pernah membantu Eretria dalam perang melawan Khalkis.[36]
Athena dan Eretria mengirim satuan militer yang terdiri atas 25 trireme ke Asia Kecil untuk membantu pemberontakan.[2][37] Ketika berada di sana, pasukan Yunani mengejutkan dan mengalahkan pasukan Artaphernes, sebelum kemudian bergerak menuju Sardis dan membumihanguskan kota itu.[38][39] Akan tetapi, setelah itu pasukan Yunani dikejar-kejar hingga ke pantai oleh pasukan berkuda Persia dan kehilangan banyak tentara dalam prosesnya. Meskipun serbuan mereka bisa dibilang berakhir sia-sia, Eretria dan Athena telah memicu kebencian kekal Darius, sehingga raja Persia itu bersumpah untuk menghukum kedua kota itu.[40] Kemenangan angkatan laut Persia dalam Pertempuran Lade pada tahun 494 SM mengakhiri Pemberontakan Ionia, dan pada tahun 493 SM, tempat pertahanan pemberontak terakhir telah ditaklukkan oleh armada Persia.[41] Pemberontakan itu digunakan oleh Dairus sebagai alasan untuk memperluas kekaisarannya ke pulau-pulau di Aigeia timur[42] dan Propontis, yang sebelumnya bukan bagian dari wilayah kekuasaan Persia.[43] Berakhirnya Pemberontakan Ionia memungkinan Persia untuk mulai merencanakan pergerakan mereka selanjutnya, yaitu memusnahkan ancaman dari Yunani terhadap Kekaisaran Persia, dan menghukum Athena serta Eretria.[22][44][45]
Kampanye pertama
Pada musim semi tahun 492 SM sebuah pasukan ekspedisi, yang dipimpin oleh menantu Darius, Mardonios, dikirim ke Yunani, terdiri atas armada laut dan pasukan darat.[46][47] Meskipun tujuan utamanya adalah menghukum Athen adan Eretria, ekspedisi itu juga dilancarkan untuk menaklukkan sebanyak mungkin kota Yunani.[47][48] Berangkat dari Kilikia, Mardonios mengirim pasukan darat untuk berjalan ke Hellespontos, sedangkan dia sendiri memimpin armada laut.[47] Dia berlayar mengelilingi pesisir Asia Kecil ke Ionia, di sana dia tinggal sebentar untuk menghapus jabatan tiran yang berkuasa di kota-kota Ionia. Mardonios menggantikan sistem tirani dengan sistem demokrasi, meskipun demokrasi juga merupakan salah satu faktor dalam Pemberontakan Ionia.[47]
Dari sana armada Persia meneruskan perjalanan ke Hellespontos, dan setelah semua sudah siap, kapal-kapal Persia menyeberangkan pasukan darat ke Eropa.[46][47] Pasukan kemudian berarak melalui Thrakia, menaklukkan kembali daerah tersebut, karena sebelumnya pernah dikuasai oleh Persia pada tahun 512 SM, pada masa kampanye Darius melawan bangsa Skythia.[49] Setelah mencapai Makedonia, Persia memaksa Makedonia menjadi kerajaan klien (negara bawahan) Persia. Sebelumnya Makedonia sudah menjadi sekutu Persia namun tetap merdeka.[48]
Sementara itu, armada Persia berlayar menyeberangi Thassos, dan membuat orang Thasos tunduk pada Persia.[48] Armada Persia lalu berlayar di sepanjang pesisir hingga sejauh Akanthos di Khalkidike, sebelum kemudian berupaya untuk memutari Gunung Athos.[48] Akan tetapi, kapal-kapal Persia terjebak badai besar, yang membuat mereka terdampar di pesisir Athos.[46] Akibat dari badai itu adalah rusaknya 300 kapal dengan tewas dan hilangnya 200.000 tentara (menurut Herodotos).[48]
Di tempat lain, ketika pasukan darat Persia sedang berkemah di Makedonia, suku Bryges, satu suku Thrakia lokal, melakukan serangan malam terhadap perkemahan Persia, membunuh banyak tentara Persia dan melukai Mardonios.[50] Meskipun terluka, Mardonios berhasil memimpin pasukannya mengalahkan dan menguasai suku Bryges. Dengan insiden yang menimpa armada laut dan pasukan daratnya, Mardonios akhirnya memimpin pasukan darat Persia kembali ke Hellespontos, sedangkan sisa-sisa kapal Persia juga mundur ke Asia.[50] Meskipun tujuan utama kampanye ini tidak tercapai, tetapi Persia berhail memperluas wilayahnya dan mengamankan daerah perbatasan dengan Yunani. Ini membuat bangsa Yunani menyadari bahwa Darius memiliki tujuan tertentu terhadap mereka.[51]
Diplomasi
Setelah ekspedisi yang gagal, Darius beralih pada upaya diplomasi. Kemungkinan karena dia beranggapan bahwa ekspedisi sebelumnya telah membuat orang Yunani mengetahui rencananya, dan barangkali dia merasa bahwa tekad kota-kota Yunani mulai melemah. Pada tahun 491 SM Darius mengirim utusan kepada semua negara kota Yunani, meminta "tanah dan air," tanda tradisional untuk ketundukan.[52] Sebagian besar kota tunduk kepadanya, karena takut akan amarah Darius. Akan tetapi, di Athena para utusan Darius dibunuh, sedangkan di Sparta utusan Darius dilempar ke dalam sumur.[51] Ini menjadikan jelas siapa yang akan menjadi lawan Persia dalam bentrokan selanjutnya, yaitu Sparta dan Athena. Kedua negara ini bekerja sama dalam menghadapai Persia meskipun keduanya pernah saling bermusuhan.[51]
Akan tetapi, Sparta kemudian dilanda kericuhan internal. Mulanya adalah ketika penduduk Aigina tunduk kepada Persia, dan Athena, yang khawatir Persia akan menjadikan Aigina pangkalan angkatan laut, meminta Sparta untuk ikut campur.[53] Salah satu dari dua raja Sparta, Kleomenes I, pergi ke Aigina untuk secara langsung mengkonfrontir penduduk Aigina, tetapi orang Aigina memnta kepada raja Sparta lainnya, Demaratos, untuk mendukung sikap mereka.[54] Kleomenes menanggapi dengan menyatakan bahwa Demaratos sudah tak berhak lagi menjabat sebagai raja. Dengan bantuan pendeta di Delphi, yang dia suap, Kleomenes berhasil menggantikan Demaratos dengan sepupunya Leotykhides.[53] Kini berhadapan dengan dua raja Sparta, rakyat Aigina akhirnya menyerah dan menyerahkan sandera kepada Athena sebagai jaminan sikap mereka.[55] Akan tetapi, di Sparta fakta penyuapan Kleomenes kepada pendeta Delpi terungkap, dan dia pun diusir dari kota.[56] Kleomenes lalu berusaha menggalang dukungan di Peloponnesos, yang membuat Sparta mengalah dan mengizinkannya kembali ke kota.[53] Pada tahun 491 SM, Kleomenes dianggap gila dan dihukum penjara. Dia meninggal sehari kemudian.[53] Kleomenes digantikan oleh saduara tirinya Leonidas I.[53]
Memanfaatkan kericuhan di Sparta, yang secara efektif membuat Athena menjadi sendirian, Darius memutuskan untuk melancarkan ekspedisi amfibi dengan tujuan menghukum Athena dan Eretria.[57] Pasukan dikumpulkan di Susa, dan berarak menuju Kilikia, di sana armada laut telah bersiap.[57] Komando ekspedisi diberikan kepada Datis orang Mede dan Artaphernes, putra satrap Artaphernes.
Pasukan Persia
Menurut Herodotos, armada yang dikerahkan oleh Darius terdiri atas 600 trireme.[46][58] Tidak disebutkan dalam sumber kuno berapa jumlah kapal angkut yang mengiringinya, jika memang ada. Herodotos menyebutkan bahwa 3.000 kapal angkut mengiringi 1.207 trireme pada invasiXerxes tahun 480 SM.[59] Di kalangan sejarawan modern, beberapa menerima jumlah ini sebagai jumlah yang wajar; diduga bahwa jumlah 600 kapal itu meliputi trireme dan kapal angkut,[60][61] atau bahwa kapal angkutnya tidak termasuk dalam 600 kapal trireme itu.[62]
Herodotos tidak menghitung jumlah pasukan Persia, hanya menyebutkan bahwa mereka merupakan "pasukan infanteri yang besar yang dikumpulkan dengan baik.[63] Dalam sumber-sumber kuno lainnya, penyair Simonides, yang agak sezaman, mengatakan bahwa pasukan kampanye itu berjumlah 200.000 tentara, sedangkan penulis dari masa selanjutnya, Cornelius Nepos dari Romawi, menaksir jumlahnya 200.000 infanteri dan 10.000 kavaleri.[64]Plutarkhos dan Pausanias sama-sama memberi jumlah 300.000 tentara, begitu pula kamus Suda.[65][66][67]Plato dan Lysias memberi angka 500.000;[68][69] sedangkan Justinus 600.000.[70]
Sejarawan modern pada umumnya menganggap bahwa angka-angka di atas terlalu berlebihan.[62] Salah satu cara untuk memperkirakan jumlah tentara Persia adalah dengan menghitung jumlah marinir yang dibawa oleh 600 trireme. Herodotos menuturkan bahwa tiap trireme pada invasi kedua ke Yunani membawa 30 marinir, tambahan untuk 14 marinir standar.[71] Dengan demikian 600 trireme dapat membawa 18.000–26.000 infanteri.[62][72] Jumlah tentara Persia yang dikemukakan oleh para sejarawan berkisar antara 18.000–100.000.[60][61][73][74][75] Akan tetapi, konsensusnya kemungkinan berada pada kisaran 25.000 tentara.[62][74]
Infanteri Persia yang dikerahkan dalam invasi kemungkinan bermacam-macam karena terdiri atas beragam kelompok etnis di seluruh Kekaisaran Persia. Akan tetapi, menurut Herodotos, setidaknya ada kesamaan umum dalam jenis zirah dan gaya bertempur.[76] Secara umum, pasukan Persia bersenjatakan busur dan panah, tombak pendek dan pedang, membawa perisai anyaman, dan mengenakan baju kulit.[76][77] Satu pengecualian untuk ini kemungkinan adalah pasukan orang-orang asli Persia, yang berangkali mengenakan zirah sisik.[76] Beberapa kontingen dipersenjatai secara berbeda;[76] misalnya pasukan Saka terkenal sebagai pengguna kapak.[78] Kontingen elite infanteri Persia tampaknya diisi oleh orang asli Persia beserta orang Mede, Kissia dan Saka;[76] Herodotos secara khusus menyebutkan keberadaan tentara Persia dan Saka di Marathon.[79] Gaya bertempur yang digunakan oleh Persia pertama-tama adalah menggunakan panah untuk melemahkan musuh sebelum kemudian melancarkan pukulan mematikan dengan tombak dan pedang.[76]
Perkiraan untuk kavaleri biasanya ada pada kisaran 1.000–3.000 tentara.[62][80] Kavaleri Persia biasanya berisi tentara dari etnis Persia, Baktria, Mede, Kissia, dan Saka; sebagian besarnya kemungkinan bertempur sebagai kavaleri misil bersenjata ringan.[76][81] Armada Persia kemungkinan besar disertai setidaknya beberapa kapal angkut, karena kavaleri tidak dapat dibawa oleh trireme, meskipun Herodotos menyatakan sebaliknya. Lazenby memperkirakan bahwa diperlukan 30-40 kapal angkut untuk membawa 1.000 kavaleri.[62]
Kampanye kedua
Setelah berkumpul, pasukan Persia berlayar dari Kilikia pertama-tama ke pulau Rhodos. Sebuah Kronik Kuil Lindos mengungkapkan bahwa Datis sempat mengepung kota Lindos namun berakhir dengan kegagalan.[82]
Armada Persia kemudian bergerak ke utara di sepanjang pesisir Ionia ke menuju Samos, sebelum kemudian berbalik arah dengan cepat menuju Laut Aigea.[83] Mereka lalu berlayar menuju Naxos, dengan tujuan menghukum kota itu karena dulu pernah menggagalkan ekspedisi Persia di sana satu dekade sebelumnya.[83] Ketika Naxos akhirnya takluk oleh pasukan Persia, banyak penduduknya yang melarikan diri ke pegunungan; mereka yang tertangkap dijadikan budak.[84] Pasukan Persia lalu membumihanguskan kota itu dan kuil-kuil orang Naxos.[46][84]
Armada Persia meneruskan perjalanan dengan berlayar menuju Delos. Setiba di sana, penduduk Delos juga telah melarikan diri dari rumah-rumah mereka.[85] Setelah menunjukkan kemarahan Persia di Naxos, Datis berniat memberikan pengampunan kepada kota-kota lainnya jika mereka berseida tunduk kepada Persia.[83] Dia mengirim utusan kepada rakyat Delos, mengumumkan:[85]
Wahai orang-orang suci, mengapakah kalian pergi, dan dengan demikian menyalahartikan niatku? Adalah keinginanku sendiri, dan perintah sang baginda raja kepadaku, untuk tidak menghancurkan pulau tempat kelahiran dua dewa, baik pulaunya maupun penduduknya. Maka kembalilah ke rumahmu dan bermukimlah di pulaumu.
Datis lalu mengubur 300 talanton kemenyan di altar Apollo di Delos, untuk menunjukkan rasa hormatnya kepada salah satu dewa pulau itu. Dari Delos, armada Persia berlayar dari pulau ke pulau di Laut Aigea untuk kemudian bergerak menuju Eretria. Dalam perjalanannya, pasukan Persia mengambil sandera dan tambahan tentara dari tiap pulau.[83]
Setelah berlayar melintasi Kyklades, armada Persia akhirnya tiba di ujung selatan Euboea, di Karystos. Penduduk Karystos menolak menyerahkan sandera kepada Persia. Akibatnya pasukan Persia mengepung mereka dan merusak lahan mereka, hingga akhirnya penduduk Karystos menyerah dan bersedia tunduk kepada Persia.[86]
Satuan militer Persia berlayar menyusuri Euboia menuju target utama mereka yang pertama, Eretria.[87] Menurut Herodotos, rakyat Eretria mengalami perbedaan pendapat mengenai tindakan apa yang harus dilakukan: apakah harus melarikan diri ke dataran tinggi, tetap bertahan di dalam kota, atau menyerah kepada Persia.[87] Pada akhirnya, mayoritas orang memutuskan untuk tetap bertahan di dalam kota.[88] Orang Eretria tidak melakukan upaya apapun untuk menghentikan pasukan Persia yang berlabuh dan berarak maju menuju kota Eretria, sehingga dengan mudahnya pasukan Persia mengepung kota itu.[88] Selama enam hari pasukan Persia menyerang tembok pertahanan Eretria, dengan korban di kedua pihak.[88] Pada hari ketujuh, dua orang Eretria yang terkemuka membuka gerbang dan menyerahkan kota itu kepada Persia.[88] Eretria kemudian dihancurkan, sedangkan kuil-kuilnya dijarah dan dibakar.[89][90] Selain itu, sesuai perintah Darius, semua penduduk Eretria dijadikan budak.[88]
Setelah menaklukkan Eretria, armada Persia berlayar ke selatan menuju pesisir Attika, dan berlabuh di pantai Marathon, kira-kira 25 mil (40 km) dari Athena, atas nasihat Hippias,[46] putra dari mantan tiran Athena, Peisistratos.[91] Pasukan Athena, yang dibantu oleh sejumlah kecil pasukan Plataia, berarak menuju Marathon dan berhasil menghalangi dua jalur keluar dari dataran itu.[92] Pada saat yang sama, pelari tercepat Athena, Pheidippides (atau Philippides) dikirim ke Sparta untuk memohon agar pasukan Sparta dikerahkan ke Marathon untuk membantu Athena.[92] Pheidippides tiba di Sparta ketika orang Sparta sedang merayakan festival Karneia, suatu periode perdamaian yang sakral. Dia diberitahu bahwa pasukan Sparta tidak boleh bertempur hingga bulan purnama;[93] ini artinya Athena tidak dapat mengharapkan bantuan Sparta untuk setidaknya sepuluh hari.[94] Dalam keadaan seperti itu, pasukan Athena memutuskan untuk tidak langsung menyerang dan lebih memilih posisi bertahan di Marathon.[92]
Kebuntuan berlangsung selama lima hari, sebelum akhirnya pasukan Athena (dengan alasan yang tak sepenuhnya jelas) memutuskan untuk menyerang pasukan Persia.[95] Meskipun pasukan Persia memiliki jumlah tentara yang lebih banyak, hoplites terbukti secara efektif membawa dampak yang menghancurkan, menggulung sayap pasukan Persia sebelum kemudian mengobrak-abrik bagian tengah barisan Persia;[96] sisa-sisa pasukan Persia meninggalkan medan tempur dan melarikan diri menuju kapal-kapal mereka.[77][79][97] Herodotos menutukan bahwa ditemukan 6.400 mayat tentara Persia di medan perang seusai pertempuran;[98] sedangkan pasukan Athena hanya kehilangan 192 orang[98] dan Plataia 11 orang.[99]
Tidak lama seusai pertempuran itu, Herodotos menuturkan bahwa armada Persia berlayar di sekitar Tanjung Sounion untuk menyerang Athena secara langsung,[100] meskipun beberapa sejarawan modern berpendapat bahwa usaha itu dilakukan oleh armada Persia sebelum pertempuran.[101] Pasukan Athena jelas sadar bahwa kotanya masih dalam bahaya, dan bergerak secepat mungkin untuk kembali ke Athena.[102] Pasukan Athena tiba tepat waktu untuk mencegah armada Persia berlabuh di Athena. Menyadari bahwa kesempatan telah hilang, armada Persia berbalik arah dan kembali ke Asia.[102] Keesokan harinya, pasukan Sparta tiba di Marathon setelah menempuh jarak sejauh 220 kilometer (140 mi) hanya dalam waktu tiga hari. Pasukan Sparta menjelajahi medan tempur, dan meyakini bahwa pasukan Athena telah memperoleh kemenangan besar.[103]
Kekalahan Persia di Marathon untuk sementara waktu mengakhiri invasi Persia ke Yunani. Akan tetapi, dalam invasi tersebut, Thrakia dan kepulauan Kyklades dikuasai oleh Persia, sedangkan Makedonia dijadikan negara bawahan oleh Persia. Dengan memperoleh banyak tambahan wilayah itu, Darius masih sangat ingin menaklukkan Yunani, dengan tujuan mengamankan bagian barat kekaisarannya.[104] Selain itu, Athena tetap belum dihukum atas perannya dalam Pemberontakan Ionia, dan baik Athena maupun Sparta masih belum dihukum atas perlakukan buruk mereka kepada utusan Persia.[105]
Darius dengan demikian mulai mengumpulkan pasukan baru dengan jumlah tentara yang sangat banyak yang dia maksudkan untuk sepenuhnya menguasai Yunani. Akan tetapi, pada tahun 486 SM, bangsa taklukannya di Mesir memberontak, sehingga ekspedisi ke Yunani harus tertunda hingga waktu yang tak tentu.[105] Darius meninggal dunia dalam perjalanan ke Mesir, dan takhta Persia diwariskan kepada putranya Xerxes I.[97][106] Xerxes menghentikan pemberontakan Mesir, dan dengan sangat cepat memulai kembali persiapan untuk menyerbu Yunani.[107] Ekspedisi ini akhirnya siap pada tahun 480 SM, dan dengan demikian invasi kedua Persia ke Yunani pun dimulai; dalam ekspedisi ini pasukan Persia dipimpin langsung oleh Xerxes.[108][109] Pasukan Persia meraih keberhasilan awal pada Pertempuran Thermopylae dan Pertempuran Artemision (Agustus 480 SM).[110][111][112] Akan tetapi, kekalahan Persia dalam Pertempuran Salamis pada bulan September 480 SM menjadi titik balik dalam kampanye militer itu,[113][114][115] dan setahun kemudian ekspedisi itu berakhir dengan kemenangan telak Yunani dalam Pertempuran Plataia.[90][116][117]
Signifikansi
Bagi Persia, dua ekspedisi ke Yunani bisa dibilang merupakan suatu keberhasilan; wilayah-wilayah baru ditambahkan ke dalam kekaisaran dan Eretria berhasil dihukum.[105] Hanya ada kegagalan kecil ketika invasi Persia dihentikan melalui kekalahan mereka pada Pertempuran Marathon; kekalahan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap sumber daya militer Persia yang amat besar.[118] Namun bagi orang Yunani, peristiwa di Marathon merupakan suatu kemenangan besar.[119] Itu adalah pertama kalinya orang Yunani dapat mengalahkan pasukan Persia, dan menunjukkan bahwa Persia dapat dikalahkan, dan bahwa perlawanan, bukannya ketundukan, adalah mungkin untuk dilakukan.[120]
Kemenangan di Marathon adalah momen yang menentukan bagi demokrasi Athena yag masih muda, menunjukkan apa yang dapat dicapai melalui persatuan dan kepercayaan diri; dan memang, pertempuran itu secara efektif benar-benar menandai dimulainya "zaman kejayaan" bagi Athena.[121] Ini juga berlaku bagi Yunani secara keseluruhan; "kemenangan mereka memberikan keyakinan kepada bangsa Yunani pada takdirnya yang akan berlangsung selama tiga abad, yang pada masa itulah kebudayaan barat lahir".[3][122] Pendapat terkenal John Stuart Mill adalah bahwa "Pertempuran Marathon, bahkan sebagai suatu peristiwa dalam sejarah Britania, lebih penting daripada Pertempuran Hastings".[123]
Secara militer, pelajaran utama bagi orang Yunani dari Pertempuran Marathon adalah potensi pasukan hoplites bergaya phalanx. Gaya ini telah berkembang selama perang-perang yang menghancurkan di kalangan bangsa Yunani sendiri; karena tiap negara kota bertempur dengan cara yang sama, keuntungan dan kerugian hoplites bergaya phalanx belum terlihat dengan jelas.[124] Pertempuran Marathon adalah kesempatan pertama bagi pasukan bergaya phalanx untuk menghadapi pasukan yang bersenjata ringan, dan menunjukkan betapa efektifnya hoplites dalam pertempuran.[124] Formasi phalanx masih rentan dalam menghadapi kavaleri (yang membuat pasukan Yunani berhati-hati pada Pertempuran Plataia), tetapi jika digunakan dalam kondisi yang tepat maka amat berpotensi menjadi senjata yang sangat berbahaya dan menghancurkan.[125]
Di pihak lain, Persia sepertinya tidak terlalu memerhatikan penyebab kekalahan mereka di Marathon. Komposisi infanteri Persia pada invasi kedua tampak sama seperti pada invasi yang pertama, padahal pada masa itu di sejumlah daerah jajahan Persia juga sudah tersedia hoplites dan infanteri berat lainnya.[126] Kemungkinan Persia bersikap begitu karena sebelum kalah di Marathon, pasukan Persia berhasil mengalahkan sejumlah pasukan hoplites di beberapa kota lainnya di Yunani, sehingga Persia kemungkinan masih merasa bahwa infanteri mereka tidak kalah unggul dibanding hoplites dan menganggap bahwa peristiwa di Marathon hanyalah suatu penyimpangan.[126]
Lazenby, JF. The Defence of Greece 490–479 BC. Aris & Phillips Ltd., 1993 (ISBN 0-85668-591-7)
Lloyd, Alan. Marathon:The Crucial Battle That Created Western Democracy. Souvenir Press, 2004. (ISBN 0-285-63688-X)
Davis, Paul. 100 Decisive Battles. Oxford University Press, 1999. ISBN 1-57607-075-1
Higbie, C. The Lindian Chronicle and the Greek Creation of their Past. Oxford University Press, 2003.
Powell J., Blakeley D.W., Powell, T. Biographical Dictionary of Literary Influences: The Nineteenth Century, 1800-1914. Greenwood Publishing Group, 2001. ISBN 978-0-313-30422-4
Fuller, J.F.C. A Military History of the Western World. Funk & Wagnalls, 1954.
Fine, JVA. The Ancient Greeks: A Critical History. Harvard University Press, 1983 (ISBN 0-674-03314-0).
Fehling, D. Herodotus and His "Sources": Citation, Invention, and Narrative Art. Translated by J.G. Howie. Leeds: Francis Cairns, 1989.
Finley, Moses (1972). "Introduction". Thucydides – History of the Peloponnesian War (translated by Rex Warner). Penguin. ISBN0-14-044039-9.
Ιστορία του Ελληνικού Έθνους (History of the Greek nation volume Β), Athens 1971
Kampouris, M. (2000). Η Μάχη του Μαραθώνα, το λυκαυγές της κλασσικής Ελλάδος (The battle of Marathon, the dawn of classical Greece). Πόλεμος και ιστορία (War and History magazine), no. 26, January 2000, Communications Editions, Athens.