Share to:

 

Hadis

Hadis atau Hadits[b] (bahasa Arab: حديث, translit. ḥadīth) atau Atsar (bahasa Arab: أثر, ʾAṯar, terj. har.'sisa' atau 'akibat' atau 'memengaruhi')[4] adalah suatu bentuk tradisi lisan Islam yang berisi kata-kata, tindakan, dan persetujuan diam-diam dari nabi Islam Muhammad. Setiap hadis dikaitkan dengan rantai perawi (silsilah orang yang dilaporkan mendengar dan mengulangi hadis tersebut, yang darinya sumber hadis tersebut rupanya dapat ditelusuri). Kompilasi hadis dikumpulkan oleh para cendekiawan Islam pada abad-abad setelah kematian Muhammad. Hadits dihormati secara luas dalam pemikiran Muslim arus utama dan merupakan inti dari Hukum Islam.

Ḥadīts adalah kata Arab untuk hal-hal seperti laporan atau laporan (suatu peristiwa).[3][5][6]:471 Bagi banyak orang, kewibawaan hadis merupakan sumber bimbingan agama dan moral yang dikenal sebagai Sunnah, yang menempati urutan kedua setelah Al-Qur'an[7] (yang diyakini umat Islam sebagai firman Tuhan yang diwahyukan kepada Muhammad). Meskipun jumlah ayat yang berkaitan dengan hukum dalam Al-Qur'an relatif sedikit, hadis dianggap oleh banyak orang memberikan arahan dalam segala hal mulai dari rincian kewajiban agama (seperti Ghusl atau Wudu[8] untuk salat), pada bentuk salam yang benar[9] dan pentingnya kebajikan terhadap budak.[10] Jadi bagi banyak orang, "sebagian besar" peraturan syariah berasal dari hadis, bukan Al-Qur'an.[11][Catatan 1] Di kalangan ulama Islam Sunni istilah hadis tidak hanya mencakup kata-kata, nasehat, amalan, dan lain-lain dari Muhammad, namun juga sahabatnya.[13][14] Dalam Islam Syiah, hadits adalah perwujudan sunnah, perkataan dan tindakan Muhammad dan keluarganya, Ahlulbait (Dua Belas Imam dan putri Muhammad, Fatimah az-Zahra).[15]

Naskah Ahmad bin Hanbal tulisan hukum Islam (Syariah), diproduksi Oktober 879

Berbeda dengan Al-Qur'an, tidak semua umat Islam percaya bahwa kisah-kisah hadis (atau setidaknya tidak semua kisah hadis) adalah wahyu ilahi. Kumpulan hadis yang berbeda akan membedakan berbagai cabang agama Islam.[16] Beberapa Muslim percaya bahwa bimbingan Islam harus didasarkan hanya pada Al-Qur'an, sehingga menolak otoritas hadis; beberapa orang lebih lanjut mengklaim bahwa sebagian besar hadis adalah rekayasa (pseudepigrapha) yang dibuat pada abad ke-8 dan ke-9 M, dan secara keliru dikaitkan dengan Muhammad.[17][18] Secara historis, beberapa sekte Khawarij juga menolak hadis, sementara Mu'tazilah menolak hadis sebagai dasar hukum Islam, sekaligus menerima Sunnah dan Ijma.[19][20]

Karena beberapa hadis mengandung pernyataan-pernyataan yang meragukan dan bahkan bertentangan, maka pembuktian hadis menjadi bidang studi utama dalam Islam.[21] Dalam bentuk klasiknya, sebuah hadis terdiri dari dua bagian—rantai perawi yang menyampaikan laporan (isnad), dan teks utama laporan (matn).[22][23][24][25][26] Hadits individu diklasifikasikan oleh ulama dan ahli hukum Muslim ke dalam kategori seperti sahih ("otentik"), hasan ("baik"), atau da'if ("lemah").[27] Namun, kelompok yang berbeda dan ulama yang berbeda mungkin mengklasifikasikan sebuah hadis secara berbeda. Secara historis, beberapa hadis yang dianggap tidak dapat diandalkan masih digunakan oleh para ahli hukum Sunni untuk bidang hukum non-inti.[28]

Para sarjana Barat umumnya skeptis terhadap nilai hadits dalam memahami sejarah Muhammad yang sebenarnya, bahkan hadis yang dianggap sahih oleh para sarjana Muslim, karena pencatatan pertama mereka berabad-abad setelah kehidupan Muhammad dan tidak dapat diverifikasinya rantai hadis yang diklaim penyebarannya, dan meluasnya penciptaan hadis-hadis palsu. Para sarjana Barat malah melihat hadis lebih berharga untuk mencatat perkembangan teologi Islam di kemudian hari.[29]

Etimologi

Hadis secara harfiah berarti "berbicara", "perkataan" atau "percakapan". Dalam terminologi Islam istilah hadis berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.

Menurut istilah ulama ahli hadis,[siapa?] hadis yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (bahasa Arab: تقرير, translit. taqrīr), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (bahasa Arab: بعثة) dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadis di sini semakna dengan sunnah.

Kata hadis yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan Sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad ﷺ yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[26] Kata hadis itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[30] maka kata tersebut adalah kata benda.[31]

Struktur hadis

Secara struktur hadis terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).

Contoh: Musaddad mengabari bahwa Yahya menyampaikan sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah ﷺ bahwa dia bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (hadis riwayat Bukhari)

Sanad

Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadis. Rawi adalah masing-masing orang yang menyampaikan hadis tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu'bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadis bersangkutan adalah

Al-Bukhari --> Musaddad --> Yahya --> Syu’bah --> Qatadah --> Anas --> Nabi Muhammad ﷺ

Sebuah hadis dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadis tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadis.

Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadis terkait dengan sanadnya ialah:

  • Keutuhan sanadnya
  • Jumlahnya
  • Perawi akhirnya

Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadis-hadis nabawi.

Rawi
Rawi adalah orang-orang yang menyampaikan suatu hadis. Sifat-sifat rawi yang ideal adalah:
  • Bukan pendusta atau tidak dituduh sebagai pendusta
  • Tidak banyak salahnya
  • Teliti
  • Tidak fasik
  • Tidak dikenal sebagai orang yang ragu-ragu (peragu)
  • Kuat ingatannya (hafalannya)
  • Tidak sering bertentangan dengan rawi-rawi yang kuat
  • Sekurangnya dikenal oleh dua orang ahli hadis pada jamannya.
Sifat-sifat para rawi ini telah dicatat dari zaman ke zaman oleh ahli-ahli hadis yang semasa, dan disalin dan dipelajari oleh ahli-ahli hadis pada masa-masa yang berikutnya hingga ke masa sekarang. Rawi yang tidak ada catatannya dinamakan maj'hul, dan hadis yang diriwayatkannya tidak boleh diterima.

Dalam buku terjemahan bahasa indonesia sering dijumpai singkatan HR yang merupakan kepanjangan dari Hadis Riwayat. Sehingga HR. Bukhari bermakna hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Matan

Matan ialah redaksi dari hadis, dari contoh sebelumnya maka matan hadis bersangkutan ialah:

"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"

Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadis ialah:

  • Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
  • Matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

Klasifikasi hadis

Hadis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (rawi) serta tingkat keaslian hadis (dapat diterima atau tidaknya hadis bersangkutan).

Berdasarkan ujung sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi menjadi 3 golongan yakni Marfu (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqthu’(terputus):

  • Hadis Marfu’ adalah hadis yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad ﷺ (contoh: hadis di atas)
  • Hadis Mauquf adalah hadis yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Pernyataan dalam contoh itu tidak jelas, apakah berasal dari Nabi atau sekadar pendapat para sahabat. Namun, jika ekspresi yang digunakan sahabat adalah seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama Rasulullah", maka derajat hadis tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
  • Hadis Maqthu’ adalah hadis yang sanadnya berujung pada para tabi'in (penerus) atau sebawahnya. Contoh hadis ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadis) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu dari mana kamu mengambil agamamu".

Keaslian hadis yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah ﷺ dari ucapan para sahabat maupun tabi'in di mana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadis).

Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad

Berdasarkan klasifikasi ini hadis terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Mursal, Munqathi’, Mu’allaq, Mu’dlal dan Mudallas. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.

Ilustrasi sanad: Pencatat hadis > Penutur 5> Penutur 4> Penutur 3 (tabi'ut tabi'in) > Penutur 2 (tabi'in) > Penutur 1 (para shahabi) > Rasulullah
  • Hadis Musnad. Sebuah hadis tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadis tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Urut-urutan penutur memungkinkan terjadinya penyampaian hadis berdasarkan waktu dan kondisi, yakni rawi-rawi itu memang diyakini telah saling bertemu dan menyampaikan hadis. Hadis ini juga dinamakan muttashilus sanad atau maushul.
  • Hadis Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah ﷺ (contoh: seorang tabi'in (penutur 2) mengatakan "Rasulullah berkata..." tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
  • Hadis Munqathi’, bila sanad putus pada salah satu penutur, atau pada dua penutur yang tidak berturutan, selain shahabi.
  • Hadis Mu’dlal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
  • Hadis Mu’allaq, bila sanad terputus pada penutur 5 hingga penutur 1, alias tidak ada sanadnya. Contoh: "Seorang pencatat hadis mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah.
  • Hadis Mudallas, bila salah satu rawi mengatakan "..si A berkata .." atau "Hadis ini dari si A.." tanpa ada kejelasan "..kepada saya.."; yakni tidak tegas menunjukkan bahwa hadis itu disampaikan kepadanya secara langsung. Bisa jadi antara rawi tersebut dengan si A ada rawi lain yang tidak terkenal, yang tidak disebutkan dalam sanad. Hadis ini disebut juga hadis yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, atau hadis yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

Berdasarkan jumlah penutur

Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadis tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi atas hadis mutawatir dan hadis ahad.

  • Hadis Mutawatir, adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadis mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan generasi (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadis mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadis mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (lafaz redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma’nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
  • Hadis Ahad, hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadis ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain:
    • Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain mungkin terdapat banyak penutur)
    • Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan, pada lapisan lain lebih banyak)
    • Masyhur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan, dan pada lapisan lain lebih banyak) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Dinamai juga hadis mustafidl.

Berdasarkan tingkat keaslian hadis

Kategorisasi tingkat keaslian hadis adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadis tersebut. Tingkatan hadis pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, dla'if dan maudhu'.

  • Hadis Sahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadis. Secara terminologi adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil serta kuat ingatannya (dhabith), dari yang semisalnya hingga akhir (sanad), tanpa ada penyimpangan (syudzudz) dan cacat ('illah).[1] Penjelasannya sebagai berikut:
    1. Sanadnya bersambung (lihat Hadis Musnad di atas), yang berarti setiap rawi dari hadis tersebut benar-benar telah mengambil secara langsung dari gurunya hal seperti ini diharuskan mulai dari awal sana hingga akhirnya;[1]
    2. Diriwayatkan oleh para penutur/rawi yang adil, memiliki sifat muslim, balig, berakal,[1] istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
    3. Sifat dhabith seorang rawi, yaitu setiap rawi hadits tersebut harus benar-benar sempurna hafalannya, baik hafalan tanpa menggunakan kitab maupun menggunakan kitab (yang terjaga dalam pemalsuan tutup kurung).[1]
    4. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz), yaitu benar-benar tidak ada penyimpangan dalam hadis tersebut. Syadz adalah rawi yang tsiqoh menyelisihi riwayat rawi yang lebih tsiqoh darinya.[1]
    5. Tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis (’illah). Cacat (dalam hadis) adalah sebab-sebab perusahaan hadits yang bersifat samar dan tersembunyi, walaupun hadis tersebut terlihat selamat dari sebab-sebab tersebut.[1]
  • Hadis Hasan, bila hadis yang tersebut sanadnya bersambung, tetapi ada sedikit kelemahan pada rawi(-rawi)nya; misalnya diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya. Namun matannya tidak syadz atau cacat.
  • Hadis Dhaif (lemah), ialah hadis yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa hadis mauquf, maqthu’, mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’ atau mu’dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
  • Hadis Maudhu’, bila hadis dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang dikenal sebagai pendusta.

Jenis-jenis lain

Adapun beberapa jenis hadis lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:

  • Hadis Matruk, yang berarti hadis yang ditinggalkan yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja dan rawi itu dituduh berdusta.
  • Hadis Mungkar, yaitu hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi yang lemah yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya/jujur.
  • Hadis Mu'allal, artinya hadis yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadis yang di dalamnya terdapat cacat yang tersembunyi (’illat). Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadis yang tampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadis ini biasa juga disebut hadis Ma'lul (yang dicacati) dan disebut hadis Mu'tal (hadis sakit atau cacat).
  • Hadis Mudlthorib, artinya hadis yang kacau yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi melalui beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama atau bahkan kontradiksi dengan yang dikompromikan
  • Hadis Maqlub, yakni hadis yang terbalik yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya, baik dalam hal matan (isi) atau sanad (silsilah)
  • Hadis Gholia, yaitu hadis yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
  • Hadis Mudraj, yaitu hadis yang mengalami penambahan isi oleh rawi, misalnya penjelasan-penjelasan yang bukan berasal dari Nabi ﷺ
  • Hadis Syadz, hadis yang jarang yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang tepercaya namun bertentangan dengan hadis lain yang diriwayatkan dari rawi-rawi yang lain. Hadis syadz bisa jadi berderajat shahih, akan tetapi berlawanan isi dengan hadis shahih yang lebih kuat sanadnya. Hadis yang lebih kuat sanadnya ini dinamakan Hadis Mahfuzh.

Sejarah Perkembangan Hadis

Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi ﷺ. meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[29]

M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi ﷺ hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.

Periode Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah ﷺ.

Periode ini disebut 'Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu) dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis Iahir berupa sabda (aqteal), af'al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam. Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi ﷺ. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi. Pada masa Nabi ﷺ, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.[29]

Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa Nabi bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadis. Dalam sejaah pcnulisan hadis terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadis, di antaranya:

  1. 'Abdullah Ibn Amr Ibn 'Ash, shahifah-nya disebut AshShadiqah.
  2. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadis tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.
  3. Anas Ibn Malik.

Di samping itu, ketika Nabi ﷺ menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah Islamiah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara, dan barat. Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadis juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi ﷺ telah dilakukan penulisan hadis di kalangan sahabat.

Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' ArRasyidin (11 H - 40 H)

Periode ini disebut 'Ashr-At-Tatsabbut wa Al-lqlal min AlRizvaya/ı (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi ﷺ wafat pada tahun 1 1 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.[29]

Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:

  1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi ﷺ yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
  2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi ﷺ.
  3. Pada masa ini, Khalifah Umar mempunyai gagasan untuk membukukan hadis, namun maksud tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah.[29]

Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi'in

Periode ini disebut 'Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syatn, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerahdaerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.

Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi ﷺ diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosokpelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.[29]

Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Di antara bendaharawan hadis yang banyak menerima, menghapal, dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis adalah:

  1. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5.374hadis, sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan 5.364 hadis.
  2. 'Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis.
  3. 'Aisyah, istri Rasul ﷺ meriwayatkan 2.276 hadis.
  4. 'Abdullah Ibn 'Abbas meriwayatkan 1.660 hadis.
  5. Jabir Ibn 'Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis.
  6. Abu Sa'id Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.[29]

Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan, dan pengembangan hadis terdapat di:[29]

  1. Madinah, dengan tokoh-tokohnya: Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Hurairah, 'Aisyah, Ibn Umar, Sa'id Al-Khudri, Zaid Ibn Tsabit (dari kalangan sahabat), 'Urwah, Sa'id Az-Zuhri, 'Abdullah Ibn Umar, Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar, Nafi', Abu Bakar Ibn Abd Ar-Rahman Ibn Hisyam, dan Abu Zinad (dari kalangan tabiin).
  2. Mekah, dengan tokoh-tokohnya: Ali, 'Abdullah Ibn Mas'ud, Sa'ad Ibn Abi Waqas, Sa'id Ibn Zaid, Khabbah Ibn Al-Arat, Salman Al-Farisi, Abu Juhaifah (sahabat), Masruq, Ubaididah, Al-Aswad, Syuraih, Ibrahim, Sa'id Ibn Jubair, Amir Ibn Syurahil, Asy-Sya'bi (tabiin).
  3. Bashrah, dengan tokoh-tokohnya: Anas Ibn Malik, 'Utbah, Imran Ibn Husain, Abu Barzah, Ma'qil Ibn Yasar, Abu Bakrah, Abd Ar-Rahman Ibn Sumirah, 'Abdullah Ibn Syikhkhir, Jariyah Ibn Qudamah (sahabat), Abu al-Aliyah, Rafi' Ibn Mihram Al-Riyahi, Al-Hasan Al-Bishri, Muhammad Ibn Sirin, Abu Sya'tsa, Jabir Ibn Zaid, Qatadah, Mutharraf Ibn 'Abdullah Ibn Syikhkhir, Abu Bardah Raja' Ibn Abi Musa (tabiin).
  4. Syam, dengan tokoh-tokohnya: Mu'adz Ibn Jabbal, Ubaidah Ibn Tsamit, Abu Darda (sahabat), Abu Idris al-Khaulani, Qasibah Ibn Dzuaib, Makhul, Raja' Ibn Haiwah (tabiin).
  5. Mesir, dengan tokoh-tokohnya: 'Abdullah Ibn Amr, Uqbah Ibn Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah, 'Abdullah Ibn Harits, Abu Basyrah, Abu Saad al-Khair, Martsad al-Yaziri, Yazid Ibn Abi Habib (tabi'in).[29]

Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali radhiyallahu ‘anhu. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan 'Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang 'Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga, golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu). Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah ﷺ untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.[29]

Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah tva Al- Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad Il H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi ﷺ. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad ke-2 H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H. Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan burni bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.[29]

Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar Al-Laits, AlAuza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn 'Ades, seorang ahli fiqh, murid 'Aisyah r.a. (20 H/642 M - 98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.[29]

Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab AzZuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadis. 16 Beliau adalah guru Malik, Al-Auza'i, Ma'mar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.[29]

Kitab hadis yang ditulis oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis pertama yang ditulis atas perintah kepala negara, tidak sampai kepada kita, dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Pembukuan seluruh hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadis pada masanya. Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadis atas anjuran Abu 'Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah 'Abbasiyah. Akan tetapi, tak dapat diketahui lagi siapakah ulama yang mula-mula membukukan hadis sesudah AzZuhri karena ulama-ulama yang datang sesudah Az-Zuhri seluruhnya hidup pada satu zaman.[29]

Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah sebagai pengumpul hadis adalah:[29]

  1. Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80 - 150 H)
  2. Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
  3. Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibn Shabih (w. 160 H)
  4. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
  5. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
  6. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104 - 188 H)
  7. Pengumpul pertama di Yaman, Ma'mar al-Azdy (9 - 153 H)
  8. Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110 - 188 H)
  9. Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 - 181 H)
  10. Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).

Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.

Kitab Az-Zuhri dan Ibnu Juraij itu tidak diketahui rimbanya sekarang. Adapun kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini adalah Al-Muwaththa' susunan Imam Malik. Kitab ini disusun atas permintaan Khalifah Al-Mansur ketika ia menunaikan ibadah haji pada tahun 144 H (141 H). Kemudian, Ibnu Ishaq menyusun kitab Al-Maghazi wa As-Siyar (Hadis-hadis mengenai sirah Rasul ﷺ ). Kitab Al-Maghazi ini adalah dasar pokok bagi kitab-kitab sirah Nabi. Para ulama abad kedua membukukan hadis tanpa menyaringnya, yakni mereka tidak hanya membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwafatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab itu terdapat hadis-hadis marfu', hadis-hadis mauquf, dan hadis-hadis pnaqthu'. Kitab hadis seperti itu dan mudah kita dapatkan qdalah Al-Muwaththa, susunan Imam Malik.[29]

Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang masyhur di kalangan ahli hadis adalah:

  1. Al-Muwaththa', susunan Imam Malik (95 H - 179 H)
  2. Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
  3. Al-Jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
  4. Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
  5. Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
  6. Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
  7. Al-Mushannaf, susunan Al-Auza'i (150 H)
  8. Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
  9. Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid AlAslamy.
  10. Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
  11. Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
  12. Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syaffi (204 H).
  13. MukhtalifAl-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.

Keadaan seperti ini menyebabkan sebagian ulama mempelajari keadaan rawi-rawi hadis dan dalam masa ini telah banyak rawi-rawi yang lemah. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh Jarh wa Ta'dil, di antaranya adalah Syu'bah Ibn Al-Hajjaj (160 H), Ma'mar, Hisyam Ad-Dastaway (154 H), Al-Auza'i (156 H), Sufyan Ats-Tsauri (161 H), dan masih banyak tokoh lainnya. Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik, Yahya ibn Sa'id Al-Qaththan, Waki Ibn AI-Jarrah, Sufyan AtsTsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.[29]

Hadis Qudsi

Hadis qudsi ialah hadis yang berisi perkataan Rasulullah ﷺ mengenai firman Allah yang diwahyukan secara langsung. Makna hadis ini berasal dari Allah, akan tetapi—berbeda dengan Alquran--, kata-katanya adalah kata-kata Rasulullah. Hadis qudsi ini, sebagian, kemudian disampaikan kepada sahabat-sahabat Rasul yang tertentu. Karenanya, tingkat kesahihan hadis qudsi ini serupa dengan hadis yang lain-lain, dan diukur dengan cara yang serupa pula di atas.[32]

Bentuk Periwayatan

Ada dua bentuk periwayatan hadis qudsi. Periwayatan yang pertama; Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seperti yang diriwayatkannya dari Allah Azza wa Jalla.". Contohnya: Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahih-nya dari Abu Dzar Radliyallahu Anhu dari Nabi seperti yang diriwayatkan dari Allah, bahwasanya Allah berfirman,[33]

"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim pada diri-Ku dan Aku haramkan pula untuk kalian, maka janganlah saling menganiaya d iantara kalian."[33]

Kemudian periwayatan yang kedua; Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah berfirman...". Contohnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,[33]

"Allah Ta'ala berfirman, 'Aku selalu dalam persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya bila dia mengingat-Ku. Maka jika dia mengingat-Ku niscaya Aku akan mengingatnya'".[33]

Perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Al-Qur'an dan Hadis Nabawi

Ada tiga hal yang membedakan antara Al-Qur'an dengan Hadis Qudsi, yaitu:[33]

  1. Al-Qur'an itu lafazh dan maknanya dari Allah, sedangkan hadis Qudsi maknanya dari Allah dan lafazhnya dari Nabi Muhammad SAW.[33]
  2. Membaca Al-Qur'an termasuk ibadah dan mendapat pahala, sedangkan membaca Hadis Qudsi bukan termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.[33]
  3. Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur'an, sedangkan dalam Hadis Qudsi tidak disyaratkan mutawatir.[33]

Sementara itu perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi ialah, Hadis Nabawi disandarkan langsung kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan secara lisan oleh beliau. Sedangkan Hadis Qudsi disandarkan kepada Allah SWT kemudian Nabi Muhammad SAW menyampaikan dan meriwayatkannya dari Allah, oleh karena itu dikaitkan dengan sebutan qudsi.[34]

Secara kuantitas, Hadis Qudsi jumlahnya lebih sedikit. Buku-buku yang membahas tentang Hadis Qudsi antara lain; Al-Ittifahat As-Sunniyyah Bil Ahadits Al-Qudsiyyah, karya Abdur Rauf Al-Munawi (1031 H). Buku tersebut berisi 272 Hadis Qudsi.[33]

Penulisan hadis

Ahli-ahli hadis yang mengumpulkan, mendaftar, menyeleksi dan menuliskan hadis-hadis dalam suatu kitab hadis dikenal sebagai mudawwin atau mukharrij.

Berkas:ArabicSahihBukhari.jpg
Sampul kitab hadis Sahih Bukhari

Kitab hadis Sunni

Kitab hadis Syi'ah

Syi'ah hanya memercayai hadis yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad ﷺ, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadis yang berasal dari atau diriwayatkan oleh orang-orang yang diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, yang melawan Ali pada Perang Jamal. Beberapa sekte Syi'ah sebagian besar menggunakan:

Kebanyakan hadis-hadis tersebut meriwayatkan perkataan Ja'far ash-Shadiq dengan pentahrifan sanad. Kitab-kitab hadis Syiah tidak beredar secara umum di Indonesia.

Beberapa istilah dalam ilmu hadis

Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadis antara lain:

  • Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan hadis Bukhari dan Muslim
  • As-Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
  • As-Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut di atas selain Ahmad bin Hambal (Imam Ibnu Majah)
  • Al-Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Al-Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Ats-Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

Pembentukan dan Sejarahnya

Hadis sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku hadis. Itulah pembentukan hadis.

Masa pembentukan hadis

Masa pembentukan hadis tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadis belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. perode ini disebut al wahyu wa at takwin. Pada saat ini Nabi Muhammad sempat melarang penulisan hadis agar tidak tercampur dengan periwayatan Al Qur'an, tetapi setelah beberapa waktu, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassallam membolehkan penulisan hadis dari beberapa orang sahabat yang mulia, seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Bakar, Umar, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit, dllnya. Periode ini dimulai sejak Muhammad diangkat sebagai nabi dan rasul hingga wafatnya (610M-632 M)

Masa Penggalian

Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini hadis belum ditulis ataupun dibukukan, kecuali yang dilakukan oleh beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abdullah bin Mas'ud, dllnya. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadis dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

Masa penghimpunan

Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima hadis baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya hadis palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadis baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadis itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan hadis. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadis yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan hadis marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.

Masa pendiwanan dan penyusunan

Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan hadis. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadis sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadis dan memisahkan kumpulan hadis yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadis pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadis yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadis terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai hadis. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadis seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab hadis abad ke-4 Hijriyah.

Kitab-kitab hadis

Berdasarkan masa penghimpunan hadis

Abad ke-2 Hijriyah

Beberapa kitab yang terkenal:

  1. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
  2. Al Musnad oleh Ahmad bin Hambal (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
  3. Mukhtaliful Hadis oleh As Syafi'i
  4. Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash-Shan'ani
  5. Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
  6. Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
  7. Mushannaf Al Laist oleh Al-Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
  8. As Sunan oleh Al-Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
  9. As Sunan oleh Al-Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadis. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.

Abad ke-3 H

  • Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya:
  1. Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
  2. Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
  3. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
  4. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
  5. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
  6. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
  7. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)

Abad ke-4 H

  1. Al Mu'jamul Kabir oleh Ath-Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  2. Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  3. Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  4. Al Mustadrak oleh Al-Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
  5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
  6. At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
  7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
  8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
  9. As Sunan oleh Ad-Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  10. Al Mushannaf oleh Ath-Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
  11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)

Abad ke-5 H dan selanjutnya

  • Hasil penghimpunan
  1. Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
  2. Tashiful Wushul oleh Al-Fairuz Abadi (? - ? H / ? - 1084 M)
  • Bersumber dari kutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
  • Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
  • Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
  • Kitab Al Hadis Hukum, diantaranya:
  1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  2. As Sunannul Kubra oleh Al-Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
  3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
  4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al-Harrani (? - 652 H / ? - 1254 M)
  5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  6. 'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al-Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
  7. Al Muharrar oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
  • Kitab Al Hadis Akhlaq
  1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  • Syarh (semacam tafsir untuk hadis)
  1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam An-Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
  4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh Asy-Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
  5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash-Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
  • Mukhtashar (ringkasan)
  1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
  2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  • Lain-lain
  1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadis-hadis tentang doa.
  2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi hadis yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.

Lihat juga

Catatan

  1. ^ Bentuk jamak hadis dalam bahasa Arab adalah aḥādīts, أحاديث, 'aḥādīth tapi hadis akan digunakan sebagai gantinya dalam artikel ini.
  2. ^ /ˈhædɪθ/[1] or /hɑːˈdθ/;[2] bahasa Arab: حديث, translit. ḥadīth, pelafalan dalam bahasa Arab: [ħadiːθ]; pl. aḥādīth, أحاديث, ʾaḥādīṯ,[3][a] pelafalan dalam bahasa Arab: [ʔaħaːdiːθ], terj. har.'perkataan' atau 'ceramah'
  1. ^ "Sistem penuh teologi dan hukum Islam tidak bersumber terutama dari Al-Quran. Sunnah Muhammad adalah kitab suci kedua yang hidup namun jauh lebih rinci, dan para cendekiawan Muslim di kemudian hari sering menyebut Muhammad sebagai 'Pemilik Dua Wahyu'".[12]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g "hadith"Perlu langganan berbayar. Oxford English Dictionary (edisi ke-Online). Oxford University Press.  Templat:OEDsub Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama ":1" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ "Hadith". Dictionary.com Unabridged. Random House. Diakses tanggal 2011-08-13. 
  3. ^ a b Brown 2009, hlm. 3.
  4. ^ Azami, Muhammad Mustafa (1978). Studies in Hadith Methodology and Literature. American Trust Publications. hlm. 3. ISBN 978-0-89259-011-7. Diakses tanggal 16 December 2022. 
  5. ^ "Hans Wehr English&Arabic Dictionary". 
  6. ^ Mohammad Taqi al-Modarresi (26 March 2016). The Laws of Islam (PDF) (dalam bahasa Inggris). Enlight Press. ISBN 978-0994240989. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2 August 2019. Diakses tanggal 22 December 2017. 
  7. ^ "Hadith". Encyclopaedia Britannica. Diakses tanggal 31 July 2020. 
  8. ^ An-Nawawi, Riyadh As-Salihin, 1975: p.203
  9. ^ An-Nawawi, Riyadh As-Salihin, 1975: p.168
  10. ^ An-Nawawi, Riyadh As-Salihin, 1975: p.229
  11. ^ Forte, David F. (1978). "Islamic Law; the impact of Joseph Schacht" (PDF). Loyola of Los Angeles International and Comparative Law Review. 1: 2. Diakses tanggal 19 April 2018. 
  12. ^ J.A.C. Brown, Misquoting Muhammad, 2014: p.18
  13. ^ Motzki, Harald (2004). Encyclopedia of Islam and Muslim World.1. Thmpson Gale. hlm. 285. 
  14. ^ Al-Bukhari, Imam (2003). Moral Teachings of Islam: Prophetic Traditions from Al-Adab Al-mufrad By Muḥammad ibn Ismāʻīl Bukhārī. Rowman Altamira. ISBN 9780759104174. 
  15. ^ al-Fadli, Abd al-Hadi (2011). Introduction to Hadith (edisi ke-2nd). London: ICAS Press. hlm. vii. ISBN 9781904063476. [pranala nonaktif permanen]
  16. ^ J.A.C. Brown, Misquoting Muhammad, 2014: p.8
  17. ^ Aisha Y. Musa, The Qur’anists, Florida International University, accessed May 22, 2013.
  18. ^ Neal Robinson (2013), Islam: A Concise Introduction, Routledge, ISBN 978-0878402243, Chapter 7, pp. 85-89
  19. ^ Sindima, Harvey J. (2 November 2017). Major Issues in Islam: The Challenges within and Without. Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-7618-7017-3. 
  20. ^ Deen, Sayyed M. (2007). Science Under Islam: Rise, Decline and Revival. Lulu.com. ISBN 9781847999429. 
  21. ^ Lewis, Bernard (1993). Islam and the WestPerlu mendaftar (gratis). Oxford University Press. hlm. 44. ISBN 9780198023937. Diakses tanggal 28 March 2018. hadith. 
  22. ^ "Surah Al-Jumu'a, Word by word translation of verse number 2-3 (Tafsir included) | الجمعة - Quran O". qurano.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-31. 
  23. ^ Brown 2009, hlm. 4.
  24. ^ Brown 2009, hlm. 6-7.
  25. ^ Islahi, Amin Ahsan (1989) [transl. 2009]. Mabadi Tadabbur-i-Hadith (translated as: "Fundamentals of Hadith Interpretation") (dalam bahasa Urdu). Lahore: Al-Mawrid. Diakses tanggal 2 June 2011. 
  26. ^ a b "Hadith," Encyclopedia of Islam.
  27. ^ The Future of Muslim Civilisation by Ziauddin Sardar, 1979, page 26.
  28. ^ Brown, Jonathan (2011). "Even If It's Not True It's True: Using Unreliable Hadīths in Sunni Islam". Islamic Law and Society. 18 (1): 1–52. doi:10.1163/156851910x517056. ISSN 0928-9380. 
  29. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Brown, Daniel W. (2020-01-02), Brown, Daniel W., ed., "Western Hadith Studies", The Wiley Blackwell Concise Companion to the Hadith (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-1), Wiley, hlm. 39–56, doi:10.1002/9781118638477.ch2, ISBN 978-1-118-63851-4, diakses tanggal 2024-06-26  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama ":0" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  30. ^ Lisan al-Arab, by Ibn Manthour, vol. 2, pg. 350; Dar al-Hadith edition.
  31. ^ al-Kuliyat by Abu al-Baqa’ al-Kafawi, pg. 370; Al-Resalah Publishers. This last phrase is quoted by al-Qasimi in Qawaid al-Tahdith, pg. 61; Dar al-Nafais.
  32. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 25. : "Adapun "Qudsi" menurut bahasa dinisbatkan kepada "Qudus" yang artinya suci, yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengangungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada dzat Allah yang Mahasuci.".
  33. ^ a b c d e f g h i Al-Qaththan 2013, hlm. 26.
  34. ^ Al-Qaththan 2013, hlm. 26. : "Ada yang berpendapat bahwa dinamakan hadis qudsi karena penisbatannya kepada Allah yang Mahasuci, sementara hadis nabawi disebut demikian karena dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.".

Bacaan lanjutan

  • Pengetahuan Dasar tentang Pokok-pokok Ajaran Islam (A/B) oleh Mh. Amin Jaiz
  • Metodologi Kritik Matan Hadis oleh Dr. Salahudin ibn Ahmad al-Adlabi, terjamahan, ISBN 979-578-047-6
  • Berg, H. (2000). The development of exegesis in early Islam: the authenticity of Muslim literature from the formative period. Routledge. ISBN 0-7007-1224-0. 
  • Lucas, S. (2004). Constructive Critics, Hadith Literature, and the Articulation of Sunni Islam. Brill Academic Publishers. ISBN 90-04-13319-4. 
  • Robinson, C. F. (2003). Islamic Historiography. Cambridge University Press. ISBN 0-521-62936-5. 
  • Robson, J. "Hadith". Dalam P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam Online. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912. 
  • Swarup, Ram. Understanding Islam through Hadis Diarsipkan 2011-01-24 di Wayback Machine.. Exposition Press, Smithtown, New York USA (n/d).
  • Jonathan A. C. Brown, "Criticism of the Proto-Hadith Canon: Al-daraqutni’s Adjustment of the Sahihayn," Journal of Islamic Studies, 15,1 (2004), 1-37.
  • Recep Senturk, Narrative Social Structure: Anatomy of the Hadith Transmission Network, 610-1505 (Stanford, Stanford UP, 2006).
  • Jonathan Brown, The Canonization of al-Bukhārī and Muslim. The Formation and Function of the Sunnī Ḥadīth (Leiden, Brill, 2007) (Islamic History and Civilization. Studies and Texts, 69).
  • 1000 Qudsi Hadiths: An Encyclopedia of Divine Sayings; New York: Arabic Virtual Translation Center; (2012) ISBN 978-1-4700-2994-4
  • Hallaq, Wael B. (1999). "The Authenticity of Prophetic Ḥadîth: A Pseudo-Problem". Studia Islamica (89): 75–90. doi:10.2307/1596086. ISSN 0585-5292. JSTOR 1596086. 
  • Brown, J. (2007). The Canonization of al-Bukhari and Muslim: The Formation and Function of the Sunni Hadith Canon. Leiden: Brill, 2007.
  • Juynboll, G. H. A. (2007). Encyclopedia of Canonical Hadith. Leiden: Brill, 2007.
  • Lucas, S. (2002). The Arts of Hadith Compilation and Criticism. University of Chicago. OCLC 62284281. 
  • Musa, A. Y. Hadith as Scripture: Discussions on The Authority Of Prophetic Traditions in Islam, New York: Palgrave, 2008. ISBN 0-230-60535-4
  • Fred M. Donner, Narratives of Islamic Origins (1998)
  • Warner, Bill. The Political Traditions of Mohammed: The Hadith for the Unbelievers, CSPI (2006). ISBN 0-9785528-7-3
  • 'Al-Qaththan, Syaikh Manna'. Pengantar Studi Ilmu Hadits Diarsipkan 2023-08-12 di Wayback Machine.. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2013. ISBN 9795923188

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya