Tauhid
Tauhid (bahasa Arab: توحيد) merupakan dasar agama Islam yang secara persis diungkapkan dalam frasa “Lā ilāha illallāh”.[1] Dalam konsep Islam tauhid adalah konsep dalam akidah Islam yang menyatakan keesaan Allah.[2] Islam mengajarkan bahwa Allah esa (satu) tidak dari segi bilangan. Melainkan dari segi bahwa Allah tidak mempunyai sekutu atau serupa. Allah satu dari segi Dzatnya, dengan makna bahwa tidak ada dzat yang serupa dengan Dzat Allah. Karena Dzat Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karena Allah-lah yang menciptakan seluruh benda beserta segenap sifat-sifatnya. Allah sudah ada sebelum seluruh ciptaan ini ada. Allah tidak dapat dibayangkan karena bayangan benak manusia hanya bisa menjangkau hal-hal yang biasa dijumpai, dilihat, didengar, atau dirasakannya dengan panca indera. Dan Allah tidaklah serupa dengan hal-hal demikian. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan konsekuensi dari kalimat syahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim. Dalam tauhid rububiyah, Allah diakui sebagai satu-satunya Rabb (Yang Menguasai), sehingga semua selain Allah adalah ‘abd (hamba/budak/yang dikuasai).[3] Allah adalah Rabb Yang Berkuasa dalam penciptaan, pengurusan, dan kerajaan alam semesta.[4] Allah sebagai satu-satunya Pencipta adalah juga Yang Memberi rezeki, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, serta Yang Memberi manfaat dan bahaya.[5] Allah yang mengurus segala sesuatu; semua urusan yang Dia tangani adalah kebaikan; dan Allah Mahakuasa terhadap apa yang Dia kehendaki.[5] Dalilnya adalah ayat dalam Alquran, “Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya.”[Al-A'raf:54][4] Allah juga diakui memiliki kesempurnaan nama dan sifat (sifat perangai dan sifat perbuatan) selain mencipta, mengurus, dan merajai alam semesta; hal ini dibahas dalam tauhid asma wa sifat (keesaan nama dan sifat).[6] Nama dan sifat Allah diketahui melalui dan ditetapkan dengan Alquran dan Sunnah pada makna tersuratnya dan tidak bisa ditetapkan oleh akal semata.[7] Namun, nama dan sifat Allah tidak terbatas; selain dari yang disebutkan dalam Alquran dan Sunnah dirahasiakan dalam ilmu gaib-Nya.[8] Dalam tauhid uluhiyah, Allah diakui sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam segala bentuk peribadahan dari seluruh makhluk-Nya.[6] Pengakuan Allah sebagai satu-satunya Rabb berkonsekuensi penyembahan makhluk kepada Rabbnya semata.[9] Ibadah atau penghambaan diri kepada Allah merupakan perbuatan makhluk untuk merendahkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya seumur hidup.[10] Ibadah tidak boleh ditujukan sedikit pun kepada selain Allah.[11] Beribadah kepada selain Allah, meskipun juga menyembah Allah, adalah dosa yang paling besar dalam Islam yang disebut dengan syirik (mempersekutukan Allah), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:[11]
EtimologiKata tauhid adalah kata benda infinitif (masdar) dalam bahasa Arab waḥḥada-yuwaḥḥidu-tawḥīdan yang berarti menyatukan, menjadikan satu, atau menyifati dengan kesatuan.[12] Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menambahkan bahwa makna ini akan sempurna jika ditambahkan penafikan segala sesuatu selain yang dijadikan satu tersebut.[13] Kata tauhid, dalam bentuk masdarnya maupun bentuk lainnya, tidak muncul dalam Alquran. Kata ini muncul di beberapa hadis Nabi Muhammad dalam bentuk kata kerja. Misalnya, Nabi Muhammad menyebutkan kata ini ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman, فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَ “Jadikanlah ajakan pertamamu kepada mereka adalah mentauhidkan Allah ta'ala.”[a][14] Kedudukan tauhid dalam IslamSeorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat diterimanya amal perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Adapun yang dimaksud syarat adalah apa-apa yang harus dipenuhi sebelum dilaksanakan dan harus sampai akhir pelaksanaan. Hal ini berhubungan dengan niat sesorang. Jika seseorang melakukan sesuatu hanya karena Allah, maka syarat untuk diterimanya semua bentuk amal ibadah ialah niat karena Allah tersebut harus tetap sama sampai akhir. Disamping itu, jika apa yang dilaksanakan sudah sesuai dengan tuntunan dan sunnah Rasulullah, maka kemungkinan besar amalan tersebut diterima sebagai ibadah di hadapan Allah. Dan sebaliknya, jika apa-apa yang dilakukan di landaskan selain karena Allah, atau ternyata niatnya sudah karena Allah tetapi ditengah-tengah niatnya berubah maka sudah barang tentu amalan tersebut tertolak di hadapan Allah walaupun sudah sesuai tuntunan Rasulullah. Dalil Al-Qur'an tentang keutamaan dan keagungan tauhidBerikut ini adalah dalil dari Qur'an mengenai keutamaan dan keagungan tauhid, di antaranya adalah:
Perkataan ulama tentang tauhid
Pakar ilmu keyakinan islam (aqidah) asal Arab Saudi, Ibnu Taimiyah mengatakan:
Karena kenyataannya demikian dan pengaruhnya-pengaruhnya yang terpuji ini, maka setan adalah makhluk yang paling cepat (dalam usahanya) untuk menghancurkan dan merusaknya. Senantiasa bekerja untuk melemahkan dan membahayakan tauhid itu. Setan lakukan hal ini siang malam dengan berbagai cara yang diharapkan membuahkan hasil. Jika setan tidak berhasil (menjerumuskan ke dalam) syirik akbar, setan tidak akan putus asa untuk menjerumuskan ke dalam syirik dalam berbagai kehendak dan lafadz (yang diucapkan manusia). Jika masih juga tidak berhasil maka ia akan menjerumuskan ke dalam berbagai bidah dan khurafat. Penjabaran tauhidBeriman bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang memiliki, merencanakan, menciptakan, mengatur, memelihara, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat serta menjaga seluruh Alam Semesta. Sebagaimana terdapat dalam Al Quran yang berbunyi:
Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allah:
Namun pengakuan seseorang terhadap Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi rasulullah mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Allah,
Tauhid Uluhiyah/IbadahUluhiyah dapat diartikan sebagai mentauhidkan atau mengesakan Allah dari segala bentuk peribadahan baik yang dzohir (terlihat) maupun batin[15] Itu artinya Kita beriman bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya, yaitu dengan menunjukkan semua bentuk ibadah hanya kepada Allah Taala, seperti salat, puasa, zakat, haji, jihad, doa, sujud, cinta, marah, bersumpah, pengagungan, rasa takut, ras harap, meminta perlindungan, meminta pertolongan di kala sulit, menyembelih, nazar, dan selainnya.[16] "Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang orang yang berilmu (juga menyatakan demikian).
Beriman terhadap uluhiyah Allah merupakan konsekuensi dari keimanan terhadap rububiyah-Nya. Mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti salat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Di mana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu
Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah dan rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam semesta. Yaitu mengimani sifat-sifat Allah yang mulia dan nama-nama-Nya yang indah menurut cara yang sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa tahrif (merubah maknanya), tanpa takyif (menggambarkan sifatnya), tanpa takwil (menyelewengkan makna sifat dari makna sebenarnya), tanpa ta'til (menolak sifat-sifat-Nya) dan tanpa tafwid menyerahkan makna dari suatu sifat allah Kepada-Nya).[17] Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah”.[18] Tidak ada tauhid mulkiyahTauhid itu cuma satu sesuai makna asalnya yaitu meng-esa-kan Allah, dengan penjabaran seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata.
Catatan kaki dan referensiCatatan kakiSitasi
Daftar pustaka
Situs web Yulian, Purnama (26 Juli 2011). "Makna Tauhid". Diakses tanggal 18 September 2019. Bacaan lanjut
|