Asy'ariyah (bahasa Arab: الأشعرية, translit. al-Asyʿariyyah), juga ditulis sebagai Asya'irah adalah mazhabteologi yang disandarkan kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari (w.323 H/935 M).[1] Asy'ariyah mengambil dasar keyakinannya dari para salaf, salah satunya yaitu pemikiran Abu Musa Al-Asy'ari dalam meyakini sifat-sifat Allah. Kemudian menyeimbangkan akal (rasional) dengan tekstual ayat (nash) dalam memahami Al-Qur'an dan hadis.[2]
Sejarah
Aliran Asya’irah ini berkembang dengan pesatnya di Irak. Kemudian, ia berkembang di Mesir pada zaman Salahuddin al-Ayubi, di Syiria dengan sokongan Nuruddin Zanki,di Maghribi dengan Dukungan Abdullah bin Muhammad, di Turki dengan sokongan Utsmaniah dan di daerah-daerah yang lain. Ideologi ini juga disokong oleh sarjana-sarjana di kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Antara mereka adalah al-Asfaraini, al-Qafal, al-Jirjani dan lain-lain hingga sekarang.[butuh rujukan]
Dinasti Seljuk pada abad 11-14 M. Khalifah Alp Arslan beserta Perdana menterinya, Nizam al-Mulk sangat mendukung aliran Asy’ariyah. Sehingga pada masa itu, penyebaran paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat utamanya melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.[butuh rujukan]
Asas
Makna dari sifat-sifat Allah yang ditetapkan oleh kaum Asy'ariyah berbeda dengan sifat-sifat yang ada pada diri manusia. Kemiripan hanya pada namanya saja, namun dalam pemaknaannya sangat berbeda.[3]
Menetapkan tujuh sifat, yaitu al-hayyah (hidup), al-kalaam (berbicara), al-'ilmu (mengetahui), al-qudrah (kekuasaan atau kemampuan), al-iraadah (kehendak), as-sam'u (mendengar), al-bashar (melihat) dan mentakwil sifat-sifat ikhtiyariyyah bagi Allah.[4]
Keyakinan
Abul Hasan al-Asy'ari dalam masalah keyakinan terhadap sifat Allah awalnya memiliki pendapat dan pemahaman yang sama dengan Ibnu Kullab, seorang tokoh ahli kalam (filsafat) dari Bashrah di zamannya, karena sempat berguru dengan Ibnu Kullab. Namun Imam Al-Asy'ari kemudian berpindah pemahaman dua kali sepanjang hayatnya.[5]
Ulama Asy'ariyah selanjutnya seperti Imam al-Haramian Al-Juwaini dan selainnya melakukan takwil terhadap sifat Allah dan menggunakan prinsip pokok (ushul) akidah Asy'ariyah ke dalam mazhabnya. Metode Takwil disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-takwil tersebut bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah.
Asy'ariyah awalnya hanya menetapkan tujuh sifat ma’ani saja bagi Allah yang ditetapkan menurut akal (aqliyah) yaitu hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam.[6] Kemudian ditambahkan oleh As-Sanusi menjadi dua puluh sifat, dan tidak menetapkan satu pun sifat fi’liyah (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah, dst).
Dalam masalah penggunaan akal dalam penafsiran wahyu misalnya, Abu al-Hasan sendiri menyarankan agar dalam penafsiran Alquran lebih merujuk kepada penjelasan Rasulullah dan penafsiran yang mutawatir di kalangan para sahabat.[7][8]
Asy'ariyah menggunakan tiga jenis metodologi yang berbeda untuk menjelaskan akidah di dalam dakwah. Ketiga jenis metodologi ini yaitu metodologi tekstual. metodologi rasional, dan metodologi dialektika.Metodologi tekstual meliputi kegiatan penerimaan wahyu tanpa mempermasalahkan isi dari wahyu tersebut. Metodologi rasional digunakan untuk mengaitkan antara akidah dengan pemahaman yang maksimal melalui akal. Sedangkan metodologi dialektika meliputi kegiatan diskusi dan pertukaran pikiran. Jenis metodologi dialektika secara khusus digunakan dalam mazhab Asy'ariyah untuk memenangkan debat dengan mazhab pemikiran yang berlawanan dengannya, yaitu Muktazilah.[9]
Metodologi tekstual dalam mazhab Asy'ariyah untuk menerima wahyu didasarkan kepada Al-Qur'an dan hadits. Kemudian, metodologi rasional menerapkan ilmu logika. Mazhab Asy'ariyah menggunakan logika bukan untuk menyusun kebenaran, melainkan untuk memberikan penjelasan atas suatu kebenaran. Metodologi rasional merupakan ciri utama dari mazhab Asy'ariyah.[10]
Konsep ketuhanan
Asy'ariyah menetapkan sifat Tuhan menjadi tujuh saja menggunakan metodologi rasional. Masing-masing yaitu kekuasaan, kehendak, pengetahuan, kehidupan, pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan. Sifat maknawi ini merupakan sifat pengadaan atau takwin kepada Tuhan.[11] Adapun sifat Khabariyah bagi Allah merekapun menakwilnya.[12]
Tokoh penting
Abu Hamid Al-Ghazali
Abu Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M) adalah salah satu pengikut Asy'ariyah yang membuat banyak karya tulis. Pemikirannya yang berpengaruh berkaitan dengan teologi. Beberapa karyanya ini berjudul Iljam al-Awam 'An Ilm al-Kalam, Al-Munqidz Minaddalal, dan Ihya' Ulum al-Din. Karya-karyanya ini merupakan bidang kajian di pesantren.[13]
^Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Haramain Al-Juwaini dan Imam Al-Ghazali.
^Al-Qaradhawi, Yusuf (2019). Artawijaya, ed. Tafsir Juz 'Amma. Diterjemahkan oleh Nurdin, Ali. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 5. ISBN978-979-592-827-0.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Jawas, Yazid bin Abdul Qodir (1441 H/2020). Mulia Dengan Manhaj Salaf. Bogor: Pustaka At-Taqwa. hlm. 546. ISBN9789791661133.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Ibnu Katsir menyatakan dalam muqadimah Kitab Al-Ibanah bahwa para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan memiliki tiga fase pemahaman:
Pertama ia di atas manhaj Mu’tazilah. Kemudian fase kedua yaitu menetapkan sifat aqliyah yang tujuh: hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, serta menakwilkan sifat-sifat Allah yang khabariyah. Pada fase terakhir ia menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tanpa tasybih sebagaimana disebutkan dalam Al-Ibanah, kitab terakhir yang ditulisnya.” (Muqadimah Kitab Al-Ibanah, hal. 12-13, cet. Darul Bashirah).
^Nuruddin, Muhammad (2021). Hal-Hal yang Membingungkan Seputar Tuhan. Depok: Keira. hlm. 88. ISBN978-623-7754-64-0.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)