Aliran Muktazilah (i'tazala annâ; "memisahkan diri") muncul di Basrah, Irak, pada abad 2 H. Mereka adalah pengikut Wasil bin Atha' (wafat: 131 H) dan Amr bin Ubaid (wafat: 144 H).[1] Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M) berpisah dari gurunya, yaitu Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Hasan al-Bashri berpendapat mukmin yang melakukan dosa besar masih berstatus mukmin. Sementara Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim yang berdosa besar bukanlah mukmin tapi juga bukan kafir.
Ajaran utama
Ajaran Mu'taziliyah kurang diterima oleh kebanyakan ulama Sunni karena aliran ini beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan nash/wahyu.[2] Oleh karena itu, penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Alquran secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim.
Muktazilah memiliki lima ajaran utama yang disebut ushul al-khamsah, yakni:
Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Ia.
Keadilan-Nya. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya.
Janji dan ancaman. Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat.
Posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan Wasil bin Atha' yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin yang berdosa besar, statusnya berada di antara mukmin dengan kafir.
Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela). Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih.
Aliran Muktazilah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.
Sejarah
Pemikiran dari Muktazilah diawali dari pendapat Washil bin Atha al-Ghazal dan Amr bin Ubaid bin Bab. Keduanya terlibat perdebatan dengan Hasan al-Bashri mengenai status dari pelaku dosa besar.[3] Kedua tokoh ini merupakan temannya. Perdebatan ini terjadi di dalam suatu majelis yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri di Masjid Bashrah. Kedua tokoh ini menjawab bahwa pelaku dosa besar bukanlah dalam status mukmin maupun kafir.[4] Karenanya, Hasan al-Bashri mengeluarkan mereka dari majelisnya. Keduanya kemudian mengasingkan diri di salah satu pojok Masjid Bashrah. Keduanya kemudian mempunyai pengikut yang disebut sebagai Muktazilah. Penamaan ini didasari oleh perbedaan pendapat kedua tokoh ini yang sangat berbeda dibandingkan dengan pendapat umat Islam pada masa itu.[5]Wasil bin Atha' membentuk jemaah baru di sudut lain mesjid. Imam Hasan al-Basri berkata "Ia telah i'tizal (mengasingkan diri) dari kita. Jadi mu'tazilah adalah orang yang mengasingkan diri dari Imam Hasan al-Basri, sesuai dengan perkataan dia tersebut. Aliran Muktazilah juga merupakan aliran Islam yang paling ekstrim dalam mengadopsi kebudayaan helenistik.[6]
Meski kini Muktazilah tiada lagi, namun pemikiran rasionalnya sering digali cendekiawan muslim dan non-muslim.
Referensi
^Jawas, Yazid bin Abdul Qodir (1441 H/2020 M). Mulia Dengan Manhaj Salaf. Bogor: Pustaka At-Taqwa. hlm. 544. ISBN9789791661133.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Al-'Aqil, Muhammad bin A. W. (2018). Bamuallim, M., dan al-Faiz, M. S.,, ed. Manhaj Aqidah Imam Asy-Syafi'i. Diterjemahkan oleh Idris, N., dan Zuhri, S. Jakarta: Pustaka Imam Syafi'i. hlm. 558.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: editors list (link)