32 prajurit tewas , 53 orang anggota polisi luka-luka; selain itu 47 orang mendapat luka-luka.
Serangan Umum Surakarta atau disebut Serangan Umum Empat Hari atau juga disebut Pengepungan Surakarta berlangsung pada tanggal 7 -10 Agustus1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Surakarta dan sekitarnya. Menurut catatan sejarah, serangan itu digagas di kawasan Monumen Banjarsari, Surakarta. Untuk menyusun serangan, para pejuang berkumpul di Desa Wonosido, Kabupaten Sragen dari situlah ide untuk melakukan serangan umum dikobarkan.
Mereka yang melakukan serangan bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi Hadisoemarto. Untuk menggempur markas penjajah, serangan dilakukan dari empat penjuru kota Surakarta. Rayon I dari Polokarto dipimpin Suhendro, Rayon II dipimpin Sumarto). Sementara itu Rayon III dengan komandan Prakosa, Rayon IV dikomandani A Latif (almarhum), serta Rayon Kota dipimpin Hartono. Menjelang pertengahan pertempuran Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan Senopati turut serta dan menjadi tokoh kunci dalam menentukan jalannya pertempuran.
Kegagalan Tentara Kerajaan Belanda mempertahan Kota Surakarta menggoyahkan keyakinan Parlemen Belanda atas kinerja tentaranya. Sehingga memaksa perdana menteri Drees terpaksa mengakomodasi tuntutan delegasi Indonesia sebagai syarat sebelum mereka bersedia menghadiri Konferensi Meja Bundar.[1]
Gencatan Senjata Indonesia dengan Belanda
Pada tanggal 3 Agustus 1949 pukul 22.00 malam, Panglima Besar Jenderal Sudirman memerintahkan penghentian tembak-menembak mulai 11 Agustus 1949 untuk wilayah Jawa dan 15 Agustus 1949 untuk wilayah Sumatra. Untuk itu maka sebelum tanggal tersebut pihak Brigade V/Panembahan Senopati pimpinan Letkol Slamet Riyadi dan Detasemen TP Brigade XVII pimpinan Mayor Achmadi Hadisoemarto berencana menggunakan kesempatan sebelum gencatan senjata tersebut untuk mendapatkan posisi dan merebut kedudukan musuh di Kota Surakarta agar pihak Belanda tahu bahwa TNI masih ada taring, nyali dan tetap bertekad bukan saja dengan tujuan tersebut di atas, tetapi tetap akan mengusir Belanda.Untuk itu diadakan rencana serangan umum terhadap Kota Surakarta.
Perlu diketahui juga bahwa seperti TNI di Kota Yogyakarta, pihak TNI di Kota Surakarta juga mengadakan serangan umum sebelumnya agar dapat diketahui perkiraan kekuatan lawan, kedudukan lawan dan data-data di lapangan.Semenjak Jogja diserahkan ke Ri bulan Juli 1949, sebagian kekuatan tentara Belanda ditarik Ke Surakarta, sehingga menambah kekuatan yang ada sebelumnya. Serangan pertama dilakukan pada tanggal 8 Februari 1949 sedang yang kedua dilakukan tanggal 2 Mei 1949.
Peristiwa menjelang Serangan Umum Surakarta
Sebelum serangan umum Surakarta ada beberapa peristiwa yang mendukung keberhasilan pejuang dalam pertempuran ini, antara lain:
Serangan di Jembatan Cluringan, mendapatkan 1 Bren dan 2 LE.Tentara Belanda yang selamat dalam peristiwa tersebut akhirnya mengalami gangguan jiwa. Sedang barang-barang pribadi milik serdadu Belanda yang tewas dikembalikan pihak TP Brigade XVII kepada komandan Belanda setelah gencatan senjata.
Pembelotan satu kompi TBS ( Teritoriale Batalyon Surakarta) bentukan Belanda dengan membawa 8 Bren, 30 Sten dan 80 senapan.
Selain dua peristiwa di atas pada tanggal 3 Agustus 1949, letnan jenderal Van Vreeden diam-diam memerintahkan penyerangan ke markas Kolonel Gatot Subroto sekaligus menghancurkan pemancar RRI di Desa Balong, Kecamatan Jenawi padahal rencana gencatan senjata sudah diumumkan demi memperkuat posisi tawar pihak militer.[2] Meski tidak sesuai target karena markas Kolonel Gatot Subroto dan pemancar RRI sudah pindah ke tempat lain, hal ini mempertebal keyakinan para pejuang bahwa Belanda masih berniat melakukan pelanggaran gencatan senjata kembali.
Awal mula Serangan Umum Surakarta
Sebagaimana tanggungjawab dan tugas yang diemban oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi, mengharuskannya untuk selalu berkeliling dan berpindah tempat, guna melakukan koordinasi dan konsolidasi pasukan yang tersebar di berbagai SWK. Seperti terjadi pada awal Agustus 1949, Letnan Kolonel Slamet Riyadi sedang berada di pos Rayon I, wilayah Bekonang, sekitar delapan kilometer sebelah timur kota Surakarta. Pada saat bersamaan, ia ikut mendengarkan laporan yang disampaikan oleh KaStaf Rayon I, kepada yang diwakilinya yaitu komandan Rayon I (Rayon Timur), dalam rapat yang diadakan oleh Mayor Achmadi Hadisoemarto selaku komandan SWK 106 Arjuna. Dalam rapat komando yang mengundang seluruh komandan Rayon itu (seluruhnya ada lima Rayon), Komandan SWK 106 Arjuna mengeluarkan surat Perintah Siasat No. 1/8/Swk/A-3/Ps-49, tentang serangan besar-besaran ke dalam kota, pada 7 Agustus 1949. Segera setelah itu Slamet Riyadi kembali ke markas komandonya dan mengeluarkan Surat Perintah No. 0181Co.P.P.SJ 49, tertanggal 8 Agustus 1949, berisi perintah mengadakan serangan perpisahan tanggal 10 Agustus 1949, menjelang dilaksanakannya gencatan senjata tanggal 11 Agustus 1949 (berlaku mulai pukul 00.00.
Penting diketahui, bahwa perintah siasat yang dikeluarkan oleh Mayor Akhmadi tersebut hanya ditujukan bagi seluruh pasukan yang dipimpinnya, yaitu Sub Wehrkreise (SWK) 106 Arjuna, yang terdiri dari lima rayon, dengan wilayah operasi kota Surakarta dan sekitarnya. Situasi yang berkembang di awal Agustus 1949 itu, berkaitan dengan perintah Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Presiden RI tentang penghentian permusuhan, yang sempat memunculkan terjadinya kesalah-pahaman di antara pimpinan WK I (Letnan Kolonel Slamet Riyadi) dan pimpinan SWK 106 Arjuna (Mayor Akhmadi), demikian pula dengan jajaran di bawahnya. Persoalan ini akhirnya dapat diselesaikan oleh staf Gubernur Militer II dan Gubernur Militer II selanjutnya menyerahkan kebijaksanaan penanggulangan gencatan senjata kepada Mayor Akhmadi, dengan kedudukan sebagai Komandan KMK (komando militer kota) Surakarta.
Perbandingan kekuatan antara Belanda dan Indonesia
Kekuatan Belanda di Surakarta
Surakarta merupakan kota yang dinilai penting oleh Belanda dalam melancarkan invasinya ke Indonesia sehinga merupakan kota yang diperkuat oleh tentara Belanda terbaik, bahkan pemimpin Tentara Belanda di Surakarta, Kolonel Van Ohl adalah tentara profesional dengan pengalaman yang cukup tinggi dari PD II sampai jadi tentara Belanda di pengasingan waktu Belanda jatuh ke tangan Jerman, ia seorang komandan yang sangat dihormati oleh anak buahnya dan kolega2nya seperti Kolonel Van Langen yang menduduki Yogyakarta.
Sebelum Juli 1949
Ada 5 batalyon termasuk pasukan TBS dan Polisi Federal, pada saat sebelum Juli 1949 posisi tentara tersebar di wilayah Republik yang baru dikuasai sehingga tidak memungkinkan melakukan konsentrasi kekuatan. Apalagi fokus tentara Belanda ada pada Yogyakarta yang dinilai lebih penting daripada Surakarta, mengingat perannya sebagai Ibu kota RI pada waktu itu.
Setelah Juli 1949
Ada tambahan dari wilayah sesuai perjanjian Roem Royen hingga di Surakarta menumpuk kurang lebih 11 Batalyon. Adapun posisi tentara Belanda pada berada pada
Setelah penambahan pasukan Belanda sebagai akibat penarikan mundur dari Yogyakarta, bisa dikatakan bahwa Tentara Belanda yang ada di Solo merupakan yang terkuat dan terbaik di era invasi Belanda ke Indonesia. Dari kuatnya konsentrasi Tentara Belanda di Solo, bisa disimpulkan bahwa Belanda belum menyerah dalam usahanya menaklukkan Indonesia.
Brigade V/Panembahan Senopati, Letkol Slamet Riyadi termasuk pasukan TP Sturm Abteilung.
Persenjataan pasukan pejuang pada waktu itu boleh dikatakan kurang lengkap, karena yang membawa senjata otomatis bren gun hanya sekitar 15 orang, sedangkan lainnya senjata otomatis ringan. Yang
membuat peristiwa itu sangat berkesan adalah berkiprahnya seorang yang bernama Kapten Prakoso (Mantan Rektor UNS), sebagai Komandan Kompi (Cie) I TP.
Jalannya pertempuran
Serangan dimulai pada tanggal 7 Agustus 1949 pukul 06.00, serentak terhadap kedudukan Belanda di Surakarta. Kekuatan pasukan yang digerakkan memasuki kota Surakarta pada hari pertama adalah pasukan-pasukan dari Sub Wehrkreise Arjuna 106, terdiri dari 26 Regu Kesatuan TP Det Brigade 17, 3 Regu dari MB (Mobil Bridge) Polisi dan 3 Regu TNI Brigade V. Mencapai kurang lebih 2000 orang, para gerilyawan telah tersebar di seluruh kota dengan diperlengkapi aneka senjata yang dimiliki.[3]
Serangan umum dipimpin sendiri oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi, Kota Surakarta dikepung dari empat arah oleh anggota-anggota gerilya yang sejak pagi buta sudah menyusup memasuki kota. Pasukan tiap-tiap regu sudah tersebar diseluruh kota dengan persenjataan yang beraneka ragam saat itu, mereka bertekad untuk menguasai kota Solo sebelum perintah gencatan senjata berlaku. Kompi Prakoso melakukan serangan dari arah utara, Kompi Suhendro melancarkan serangan dari arah selatan, Kompi Seomarto dari arah timur, dan Kompi Abdu Latef bersama dengan pasukan SA-CSA Muktio menyerang ke arah barat dan selatan.[3]
Tembak menembak mulai terjadi, makin lama makin gencar yang kemudian disusul dengan rentetan letusan brengun, stenggung, nitlariur serta dentuman nertir dan lain-lain. Serangan yang mendadak sontak membuat pihak Belanda kaget dan membuat Belanda mengundurkan diri dan bertahan di markasnya masing-masing. meghadapi serangan yang dilancarkan tanggal 7 Agustus 1949 pihak Belanda mengerahkan seluruh kekuatan udaranya. Sekitar pukul 15.00 Belanda meluncurkan serangan balasan dengan menurunkan enam pesawat tempur yang mengadakan pengeboman secara membabi buta, sehingga banyak rakyat yang menjadi korban. Kota Surakarta bagian barat, sekitar Laweyan menjadi sasaran lima pesawat pembom Belanda, sedangkan Surakarta bagian utara dihujani peluru dari dua pesawat P-51 Mustang, tank, dan kendaraan tempur simpang siur di jalan menghambur-hamburkan peluru.[3]
Pasukan-pasukan tentara pelajar dengan perlatan seadanya terus menerus menyerang markas Belanda, kemudian meyusup ke kampung-kampung bersama rakyat. Pertempuran terus berlangsung hingga Belanda terpojok dan tersudut tak berdaya. Posisi Belanda yang pada saat itu sudah terdesak seluruhnya, tidak dapat berkutik sehingga terpaksa bertahan di Benteng dan daerah Mangkunegaran. Mereka terkepung dan tidak dapat keluar dari kota Surakarta. Belanda yang semakin terdesak hanya bisa berada dalam tangsi-tangsi. Pertempuran terus berlanjut sampai pada puncaknya tanggal 10 Agustus 1949 tengah malam.[3]
Korban di kedua belah pihak
Dalam pertempuran selama empat hari tersebut, 109 rumah penduduk porak poranda, 205 penduduk meninggal karena aksi teror Belanda, 7 serdadu Belanda tertembak dan 3 orang tertawan sedangkan dipihak TNI 6 orang gugur. Dari minimnya korban yang jatuh di kalangan TNI, menunjukkan meningkatnya kinerja TNI dalam melakukan serangan oftensif dibandingkan ketika melakukan serangan Umum 1 Maret.
Peristiwa setelah Serangan Umum Surakarta
Di Surakarta
Masa gencatan senjata mulai berlaku sejak tanggal 10 Agustus 1949 tengah malam. Masa ini dinodai oleh pembantaian yang dilakukan oleh Pasukan Komando Baret Hijau Belanda terhadap rakyat yang dijumpainya di daerah Kratonan, Jayengan, Pasar Kembang, Pasar Nongko, Gading dan tempat-tempat lainnya. Khusus di Gading sasarannya adalah Markas Palang Merah Indonesia yang menempati rumah dr. Padmonegoro. Di sini Pasukan Komando Baret Hijau membunuh 7 orang petugas PMI beserta 50 orang pasien yang dalam keadaan tidak berdaya, yang terdiri atas rakyat dan pejuang yang luka-luka. Aksi ini berakhir dengan pengepungan dan pengejaran oleh Tentara Pelajar.[4]
Selain itu Mayor Akhmadi juga mengeluarkan kebijakan yang berbeda dan menimbulkan situasi kontradiktif. Kebijakannya ini dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, tetap memegang teguh tugasnya sebagai komandan Komando Militer Kota (KMK Solo), dengan tugas teritorialnya, berdasar pengangkatan langsung dari MBAP (Markas Besar Angkatan Perang) pada bulan April 1948. Dalam kaitan ini, tugas-tugas lebih sering diperintahkan langsung oleh Panglima Tertinggi Divisi II/Gubernur Militer Jawa Tengah yang berkedudukan di Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto, yang pada saat gencatan senjata diberlakukan masih dalam keadaan sakit dan berada di Kota Yogyakarta. Kedua, sebagai pemimpin tertinggi militer wilayah Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto belum mencabut instruksinya No. 16A tertanggal 18 Juni 1949, yang salah satu instruksinya berbunyi: “anggota angkatan Perang dan Pegawai Pemerintah Sipil, sekeluarnya instruksi ini harus berjuang terus, selama belum ada perintah cease fire dari kami sendiri, meski ada perintah dari instansi manapun”. Untuk menegaskan sikapnya itu, Mayor Akhmadi mengeluarkan instruksi No. 1/Dari/Cdt/8-49 tanggal 11 Agustus 1949, pukul 24.00:
Tidak bertanggung jawab atas penarikan mundur pasukan-pasukan.
Bertekad tetap bertanggung jawab menjaga keselamatan dan ketenteraman rakyat.
Apabila Belanda mengganggunya, maka komandan-komandan sektor harus bertindak di daerahnya masing-masing.(Ofensif TNI Empat Hari di Kota Sala dan Sekitarnya, 137.)
Demikianlah, pada satu sisi, terdapat perintah untuk menarik mundur pasukan dengan kembali ke posisi semula (pos-pos), pada lain pihak masih memegang teguh perintah untuk menempati posisi yang berhasil direbut. Di tengah situasi sebagaimana dipaparkan di atas, di kediaman Ir. Seseto Hadinegoro, atau Istana Kembang Banowati di jalan Bayangkara, berlangsung kontak resmi antara Komandan Pasukan Belanda, Kolonel Van Ohl, dengan Komandan Brigade V/II, Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Pertemuan sebagai tindak lanjut gencatan senjata yang berlangsung dari pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30 itu membuahkan kesepakatan sebagai berikut:
Untuk mengurangi terjadinya perselisihan, Kol. Ohl meminta dengan sangat:
TNI ditarik mundur ke tepi batas kota.
Rintangan-rintangan jalan disingkirkan.
Pihak Belanda berjanji:
Teror Belanda tak akan terulang.
Tidak akan diadakan pembalasan terhadap rakyat yang membantu TNI.
Teroris-teroris telah diurus oleh Krijgsraad (pengadilan).
Mulai tanggal 12-8-1949 pasukan Belanda akan dikonsinyir di tempat masing-masing.
Setiap teror dari pihak Belanda supaya dilaporkan kepada Komandan TNI.
Penyerahan kota Surakarta akan diserahkan dalam bulan ini juga (Agustus 1949).(Ofensif TNI Empat Hari di Kota Solo dan Sekitarnya, 130)
Menindak lanjuti hasil pertemuan ini Letnan Kolonel Slamet Riyadi sebagai Komandan Wehrkreise I segera mengeluarkan Perintah Harian kepada seluruh jajarannya untuk menaati perintah Presiden Panglima Tertinggi/Panglima Perang tertanggal 3 Agustus 1949 tentang gencatan senjata, untuk dilaksanakan.
Sempat terjadi perbedaan pendapat antara Brigade V dengan Den II TP Brigade XVII.Mayor Ahmadi berpegang teguh pada perintah Panglima Divisi II Kol Gatot Subroto.Mayor Ahmadi menginstruksikan agar pasukan TP tetap dalam sektor masing-masing dengan posisi terakhir dan tidak bertanggung jawab terhadap penarikan pasukan ke batas kota dan memerintahkan apabila Belanda melanggar lagi agar ditindak oleh masing-masing sektor. Sedang pihak Brigade V berpegang teguh pada: Berlakunya gencatan senjata tanggal 3-10 agustus 1949, yang berminat berunding adalah Belanda yang sedang terdesak, dan mengurangi kekejaman pasukan Belanda terhadap sipil. Sebagai tanggung jawab seorang komandan, akhirnya Letnan Kolonel Slamet Riyadi mengeluarkan penjelasan secara panjang lebar tentang proses perundingan serta kesepakatannya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Penjelasan yang diberikannya disertai rasa tanggung jawab akhirnya dapat diterima dan dipercayai oleh pasukanya.
Di lain pihak, setelah mendengar laporan perkembangan situasi dari anak buahnya, Kepala Staf Gubernur Militer II, Letnan Kolonel Suprapto akhirnya mengambil dua tindakan, yaitu mengutus dua orang anggota TP untuk menemui dan meminta ketegasan sikap Gubernur Militer, tentang situasi mutakhir. Kedua, Kepala Staf mengeluarkan instruksi No. 16/In/Ks/8/I, tanggal 16 Agustus 1949, berisi; “secara formil, dengan didasarkan atas instruksi atasan yang tertentu situasi yang tercipta dalam hubungan kita dengan pihak Belanda belum dianggap resmi.”
Situasi ini akhirnya dapat didinginkan oleh Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto, setelah dikeluarkannya Perintah Harian No. 18/Ks/PH/8/I, tanggal 18 Agustus 1949, yang isinya memerintahkan kepada komandan Brigade V/Div. II, untuk menyerahkan penyelesaian dan penyelenggaraan akibat situasi yang dicapai dengan penghentian tembak-menembak, kepada komandan SWK 106 Arjuna. Dengan kewenangannya, Mayor Akhmadi menindak-lanjuti perundingan gencatan senjata dengan kesepakatan: pihak Indonesia menempati daerah yang telah didudukinya dan pihak Belanda di tempat semula. Pada tanggal 24 Agustus 1949 urusan keamanan kota diserahkan kepada Mayor Ahmadi selaku Komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo.
Di Jakarta
Segera setelah meninjau lokasi pertempuran Surakarta, Jenderal Vreeden segera terbang kembali ke Jakarta dan menemui Komisaris Tinggi Lovink. Dengan nada emosional, ia menuduh TNI telah mengacaukan gencatan senjata dan menyarankan diadakan aksi polisionil ketiga. Tetapi hal ini ditolak oleh Lovink karena ia ragu atas kemampuan tentara Belanda apalagi setelah mendapat laporan mengenai kegagalan pasukan Belanda menghalau serangan TNI di Surakarta.[5]
Pengaruh Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Tentara Pelajar Surakarta (DETASEMEN-II / BRIGADE-17 TNI), 8 Februari 1949, 2 Mei 1949 dan 7 – 10 Agustus 1949 yang kala itu terbukti berhasil memperkuat posisi tawar politik perjuangan diplomasi delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag, sehingga berujung dicapainya Kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949 dapat berdampingan dengan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945. Hal ini terjadi karena Belanda sadar bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Surakarta yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.
Rujukan
^Pour, Julius. Ign. Slamet Rijadi Dari Mengusir Kempeitai Sampai Menumpas RMS, h. 192. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.ISBN 978-979-22-3850-1 9792238506.
^Pour, Julius. Ign. Slamet Rijadi Dari Mengusir Kempeitai Sampai Menumpas RMS, h. 190. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.ISBN 978-979-22-3850-1 9792238506.
^Pour, Julius. Ign. Slamet Rijadi Dari Mengusir Kempeitai Sampai Menumpas RMS, h. 191. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.ISBN 978-979-22-3850-1 9792238506.
1 Masuk ke dalam Daftar Benda Cagar Budaya yang Dilindungi Pemerintah Kota Surakarta, 2 Dicoret dari daftar karena usia pembangunan kurang dari 50 tahun Portal Surakarta ·Wikipedia:Buku/Surakarta