Nama Kota Balikpapan diambil dari nama suku ini, yakni pada kata "Balik", dan kata "Papan" berasal dari masyarakat suku Balik yang dahulu dikenal sebagai penyuplai papan untuk Kerajaan Kutai Kartanegara.[2][7] Saat ini, suku Balik merupakan minoritas di Balikpapan dan Penajam Paser Utara. Di Penajam Paser Utara, tepatnya di kecamatan Sepaku, jumlahnya tidak lebih dari 1.000 jiwa atau 200 KK pada tahun 2023, yang tersebar di tiga wilayah, yakni di Bumi Harapan, Sepaku, dan Pemaluan.[1]
Wilayah adat suku Balik juga termasuk kedalam proyek pembangunan IKN Nusantara, yakni pemindahan ibukota negara Indonesia dari Jakarta ke Nusantara. Dalam proyek ini, ratusan rumah warga suku Balik terancam direlokasi akibat proyek penanganan banjir Sungai Sepaku.[7][8] Sedangkan menurut pengakuan Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor, tidak ada suku asli di kawasan IKN, karena awalnya merupakan hutan alam dan berubah menjadi hutan produksi. Seiring pengembangan itu mulainya datang penduduk yang menempati daerah tersebut termasuk para transmigran.[9]
Sejarah
Pada abad ke-18, suku Balik mengabdi kepada Kerajaan Kutai Kartanegara dan Kesultanan Paser.[10] Menurut Sibukdin, “Saat itu, sudah ada batas-batas wilayah yang ditempati suku Balik dengan suku lainnya”. Wilayah suku Balik berbatasan dengan wilayah suku Kutai di sebuah tempat bernama Gunung Parung. Kemudian berbatasan dengan suku Paser di Sungai Tunan.[5] Wilayah tersebut pernah merupakan hadiah pernikahan Sultan Paser kepada putrinya yang menikah dengan bangsawan Kutai.[10]
Dahulu suku Balik hidup di hutan, ada lima gua yang menjadi tempat penghidupan bagi mereka, yakni Gua Tembinus, Bekayas, Belatat, Parung, dan Liang Tulus. Di gua-gua itulah, suku Balik mengambil sarang burung walet hitam dan kemudian ditukar dengan beras. Suku Balik juga tidak mengenal sayur-sayuran, seperti wortel, dan sebagainya. Semua sayuran merupakan tanaman liar di hutan. Untuk daging, merupakan hasil berburu kijang (dalam bahasa Balik disebut payau), rusa, atau kelinci.[5]
Pada tahun 1942, ketika itu terjadi pertempuran besar di wilayah adat suku Balik di Balikpapan. Saat itu, suku Balik hidup di pesisir Kota Balikpapan, daerah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah kepemimpinan Sultan Adji Muhammad Sulaiman. Ketika terjadi perang, warga yang ketakutan bersembunyi di pedalaman hutan. Mereka berada di batas terakhir wilayah adat yang kini menjadi kecamatan Sepaku.[7] Pada masa penjajahan Jepang (1940-an) inilah awal mula pemukiman suku Balik di wilayah tersebut, walau ada yang mengklaim lebih awal seperti sejak zaman penjajahan Belanda.[10]
Sekitar tahun 1970-an, Pemerintah Indonesia membuat program transmigrasi dari Pulau Jawa ke wilayah yang jarang penduduknya di luar Jawa, salah satu wilayah tersebut adalah wilayah Sepaku-Semoi. Para transmigran ini kemudian diberi sebidang tanah yang luasnya satu hektar, lengkap dengan legalitas dari pemerintah. Seiring datangnya transmigran, Sepaku juga kedatangan perusahaan hutan tanaman industri dan perkebunan sawit. Tanah-tanah milik suku Balik mulai dijualbelikan. Saat itu, masyarakat suku Balik tidak mengerti tentang pentingnya legalitas tanah. Ladang-ladang yang mereka miliki bisa dijual dengan harga murah, sesuai kebutuhan. Hal inilah yang kemudian mereka lama-kelamaan kehilangan tanahnya.[7]
Budaya
Ritual belian
Ritual belian atau disebut juga belian bawo adalah salah satu ritual adat yang ada pada masyarakat suku Balik, ritual belian ini berbeda dengan ritual belian pada suku Paser. Perbedaan pada ritual belian suku Balik ini adalah adanya ritual potong lidah. Saat ini, ritual ini sudah hampir punah, karena dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Pada prosesi ini, dijelaskan bahwa lidah yang dipotong sebagai pertanda 'orang dari atas' (roh) sudah datang. Tetapi setelah ritual, lidah orang tersebut akan kembali normal.[2]
Tari ronggeng
Tari ronggeng atau ronggeng Balik adalah tarian tradisional yang dipentaskan oleh kaum perempuan suku Balik. Saat ini, sudah banyak ronggeng Balik yang dipentaskan dengan hanya menampilkan tarian dan musik. Tetapi sejatinya, ronggeng Balik tradisional juga ditampilkan oleh penari yang berdendang dengan bahasa daerah suku Balik.[11]
Pada zaman dahulu oleh masyarakat suku Balik, ronggeng digunakan salah satu ritual penyembuhan bagi orang yang terkena penyakit. Orang yang dituakan oleh masyarakat suku Balik kemudian akan memimpin doa dan memberi ramuan obat tradisional. Dengan tujuh penari perempuan ronggeng Balik yang diiringi oleh kendang dan musik gambus. Dahulu, masyarakat suku Balik percaya bahwa rangkaian prosesi itu bisa membantu penyembuhan dengan melibatkan roh leluhur.[11]
Dalam pementasan ronggeng Balik, sang penari juga kerap mengajak penonton untuk menari di atas panggung. Dengan cara selendang yang digunakan penari dikalungkan ke leher penonton kemudian si penonton digiring ke panggung. Tak hanya itu, sang penonton diajak berbalas pantun oleh sang penari.[11]
Berikut contoh pantun berbahasa Balik yang diucapkan oleh penari ronggeng Balik:[11]
Erai babun ke duo babun
Babun ku ido do atok bias
Erai pantun ke duo pantun
Pantun ku ido maning benales
Terjemahan dalam bahasa Indonesia: "satu bakul atau dua bakul, bakulku ini berisi nasi satu pantun atau dua pantun, pantunku ini minta dibalasi".
Sang penonton yang diajak menari kemudian harus membalas pantunnya sampai selesai tarian. Meski sederhana, setidaknya hal itu bisa digunakan untuk melestarikan bahasa Balik.[11]