Dalam Buddhisme, pengotor batin, kotoran batin, atau kotoran mental (Pali: kilesa; Sanskerta: क्लेश, kleśa) adalah faktor mental yang mengeruhkan pikiran dan biasanya terwujud dalam perbuatan buruk melalui pikiran, ucapan, dan jasmani.
Dalam berbagai bagian Sutta Piṭaka di Tripitaka Pali, kilesa sering dikaitkan dengan berbagai kekotoran yang mencemari batin dan jasmani. Dalam Abhidhamma Piṭaka dan kepustakaan Pali pascakanonis (seperti dalam tradisi Abhidhamma), sepuluh pengotor batin diidentifikasi, tiga yang pertama–keserakahan, kebencian, delusi–dianggap sebagai "akar" penderitaan.
Dalam Sutta Piṭaka, kilesa dam upakkilesa[1] adalah hambatan afektif terhadap pengejaran pengetahuan langsung (abhiññā) dan kebijaksanaan (paññā).
Misalnya, Saṁyutta Nikāya memiliki kumpulan sepuluh diskursus (SN 27, Kilesa-saṃyutta) yang menyatakan bahwa setiap asosiasi “hasrat-dan-nafsu” (chanda-rāgo) dengan tubuh atau batin (termasuk lima gugusan)[2] adalah “pengotor batin” (cittasse’so upakkileso):
"Para bhikkhu, segala hasrat-dan-nafsu terhadap mata adalah pengotor batin. Segala hasrat-dan-nafsu terhadap telinga... hidung... lidah... tubuh... objek batin (pemikiran) adalah pengotor batin. Ketika, berkenaan dengan enam landasan ini, pengotor kesadaran ditinggalkan, maka batin cenderung pada pelepasan [keduniawian]. Batin yang dipupuk oleh pelepasan [keduniawian] terasa lentur untuk mengetahui secara langsung kualitas-kualitas yang layak direalisasikan."[3]
Dalam Kammanidāna Sutta (AN 10.174) di Sutta Piṭaka, diklasifikasikan tiga hal sebagai penyebab, sumber, dan asal-mula segala perbuatan buruk (akusala-kamma), seperti membunuh, mencuri, berhubungan seksual yang salah, berbohong, berucap kasar, bergosip, larut dalam kerinduan, berniat buruk, dan berpandangan salah, tetapi tidak disebut dengan istilah "kilesa" (pengotor batin) maupun "tiga akar buruk". Tiga hal tersebut adalah:[5]
Secara lebih luas, lima rintangan batin–nafsu indrawi (kāmacchanda), niat jahat (byāpāda), kemalasan-kelambanan (thīna-middha), kebingungan-penyesalan (uddhacca-kukkucca), dan keraguan (vicikicchā)–sering dikaitkan dengan kilesa dengan cara berikut (atau cara yang serupa):
[S]emua yang telah terlebih dahulu ditinggalkan oleh Sang Begawan adalah lima rintangan, pengotor batin yang melemahkan kebijaksanaan.[6]
Rintangan batin berupa kemalasan dan kelambanan/kantuk (thīna-middha) disebut bersamaan karena keduanya merupakan faktor-mental yang munculnya selalu bersamaan, begitu juga dengan kegelisahan/kebingungan dan penyesalan (uddhacca-kukkucca).[9]
Sepuluh jenis pengotor batin
Meskipun Sutta Piṭaka tidak merinci daftar lengkap pengotor batin, kitab-kitab Abhidhamma Piṭaka, seperti Dhammasaṅgaṇī (Dhs. 1229ff.) dan Vibhaṅga (Vbh. XII); dan kitab Visuddhimagga pasca-kanonis (Vsm. XXII 49, 65) menguraikan daftar sepuluh pengotor batin (dasa kilesa-vatthūni) sebagai berikut:
Kitab Vibhaṅga juga mencakup daftar beruas delapan (Pāli: aṭṭha kilesa-vatthūni) yang terdiri dari delapan daftar pertama dari sepuluh daftar di atas.[11]
Tiga akar buruk
Dalam tradisi Abhidhamma, tiga pengotor batin pertama dalam sepuluh daftar Abhidhamma di atas (Pāli: lobha dosa moha) dikenal sebagai "akar buruk" (Pāli: akusala-mūla); dan kebalikannya (Pāli: alobha adosa amoha) adalah tiga "akar baik" (Pāli: kusala-mūla atau akar kusala).[12] Kehadiran akar yang baik dan buruk tersebut dalam perbuatan batin (manokamma), ucapan (vacīkamma), atau jasmani (kāyakamma) mengondisikan penilaian moral atas kesadaran (citta) yang akan muncul dan faktor-faktor mental yang terkait dengannya.[13]
Faktor mental keserakahan (lobha) dan kebencian (dosa) tidak dapat muncul sendiri tanpa kehadiran faktor mental delusi (moha). Kitab Abhidhamma mengklasifikasikan kesadaran buruk (akusala-citta) dalam tiga kelompok:[14][9]
Kesadaran yang berakar pada kebencian (dosamūla-citta), berisi kesadaran-kesadaran yang disertai oleh faktor mental kebencian (dosa) dan delusi (moha).
Kesadaran yang berakar pada keserakahan (lobhamūla-citta), berisi kesadaran-kesadaran yang disertai oleh faktor mental keserakahan (lobha) dan delusi (moha).
Kesadaran yang berakar pada delusi (mohamūla-citta), berisi kesadaran-kesadaran yang disertai oleh faktor mental delusi (moha).
Kecenderungan tersembunyi
Kecenderungan tersembunyi atau tendensi laten (Pāḷi: anusaya) adalah pengotor batin yang tertidur karena belum dihancurkan (anusayanti appahīnānusayitaṁ kilesaṁ). Pada dasarnya, semua pengotor batin ada sebagai kecenderungan tersembunyi, tetapi Abhidhamma menguraikan tujuh jenis anusaya yang sangat merusak (memperpanjang siklus kelahiran dan kematian), yaitu kecenderungan tersembunyi yang dinamakan:[14]
Dengan demikian, pengotor batin hadir dalam tiga tingkatan:[15][16]
Tingkat kecenderungan tersembunyi atau tendensi laten (anusaya): pengotor menetap hanya sebagai watak tersembunyi dalam batin.
Tingkat ledakan (pariyuṭṭhāna): pengotor batin muncul untuk menguasai dan memperbudak pikiran.
Tingkat pelanggaran (vītikkama): pengotor batin memotivasi perbuatan jasmani dan ucapan yang tidak bermanfaat.
Dalam tingkatan kecenderungan tersembunyi (anusaya), pengotor batin masih tertidur di dasar kontinum mental. Melalui dampak dari rangsangan sensorik, pengotor batin muncul pada tingkatan ledakan (pariyuṭṭhāna) sebagai kecenderungan-kecenderungan di permukaan kesadaran dalam bentuk pikiran, emosi, dan kehendak jahat. Jika kecenderungan-kecenderungan ini mengumpulkan kekuatan tambahan, pengotor batin akan mencapai tingkat pelanggaran (Pāli: vītikkama), yang kemudian akan melibatkan tindakan fisik atau vokal.
Belenggu (Pali: saṁyojana), bersama-sama dengan rintangan dan berbagai faktor mental tidak baik lainnya, merupakan bagian dari pengotor batin (kilesa).[17] Sebagai perbandingan, dalam aliran Theravāda, belenggu biasanya mencakupi banyak kehidupan (masa lalu, saat ini, dan masa depan setelah kelahiran kembali) dan sulit dihilangkan, sedangkan rintangan merujuk pada hambatan sementara saat praktik meditasi. Sutta Piṭaka dalam Tripitaka Pali menjelaskan sepuluh "belenggu eksistensi atau keberadaan":[18]
Tradisi Abhidhamma menguraikan empat belas faktor mental yang tidak baik (akusala cetasika) sebagai pengotor batin yang eksis dalam kesadaran yang tidak baik (akusala citta).
Empat belas faktor mental yang tidak baik adalah:
Empat faktor mental tidak baik universal (akusalasādhāraṇa):
Kesadaran yang tidak baik (akusalacitta) adalah kesadaran yang disertai oleh salah satu dari tiga akar yang tidak baik—keserakahan, kebencian, dan delusi. Kesadaran seperti itu disebut tidak baik karena tidak sehat secara mental, tercela secara moral, dan menghasilkan akibat yang menyakitkan.
Kitab Visuddhimagga, sebuah kitab komentar abad ke-5 M, dalam pembahasannya tentang "Kemunculan Bersebab" (Pali: paṭicca-samuppāda) (Vsm. XVII), menyajikan berbagai metode penjelasan untuk memahami dua belas kondisi (nidāna). Salah satu metode (Vsm. XVII, 298) membagi dua belas faktor tersebut ke dalam tiga "putaran" (tivaṭṭa):
Dalam kerangka ini (lihat Gambar di sebelah kanan, dimulai dari bagian bawah Gambar), kilesa ("ketidaktahuan") mengondisikan kamma ("bentukan/formasi") yang mengondisikan hasil ("kesadaran" melalui "perasaan") yang pada gilirannya mengondisikan kilesa ("nafsu-keinginan" dan "kemelekatan") yang mengondisikan kamma ("keberadaan") dan seterusnya.[31]Buddhaghosa (Vsm. XVII, 298) menyimpulkan:
Maka Bhavacakra (roda keberadaan) ini, yang mempunyai tiga putaran dengan tiga putaran ini, harus dipahami berputar, berputar lagi dan lagi, selamanya; karena kondisi-kondisi tidak terputus selama putaran pengotor-pengotor batin tidak terputus.[32]
Seperti yang dapat dilihat, dalam kerangka ini, putaran pengotor batin terdiri dari:
Di bagian lain kitab Visuddhimagga (Vsm. XXII, 88), dalam konteks empat individu mulia (ariya-puggala, lihat Empat tingkat kemuliaan), teks tersebut mengacu pada pertanda pencapaian Nirwana sebagai penghapusan total "pengotor batin yang merupakan akar dari putaran" (vaṭṭa-mūla-kilesā).[34]
Tiga klesha, yaitu ketidaktahuan, keterikatan/kemelekatan, dan kebencian, disebut sebagai tiga racun (Sanskerta: triviṣa) dalam aliran Mahāyāna dan sebagai tiga akar yang tidak baik (Pāli: akusala-mūla; Sanskerta: akuśala-mūla) dalam aliran Theravāda. Ketiga racun (atau akar yang tidak baik) ini dianggap sebagai akar dari semua klesha lainnya.
Lima racun
Dalam tradisi Mahayana, lima klesha utama disebut sebagai lima racun (Sanskerta: pañca kleśaviṣa; Tibet-Wylie: dug lnga).
Lima racun tersebut terdiri dari tiga racun dengan dua racun tambahan: kesombongan dan iri hati. Secara keseluruhan, lima racun tersebut adalah:[35][36]
Mahāparinirvāṇa Sūtra Mahāyana mencantumkan sekitar 50 klesha, termasuk yang berupa kemelekatan, kebencian, kebodohan, kecemburuan, kesombongan, kecerobohan, keangkuhan, niat jahat, suka bertengkar, mata pencaharian salah, penipuan, bergaul dengan teman yang tidak bermoral, kemelekatan pada kesenangan, tidur, makan, dan menguap; senang berbicara berlebihan dan mengucapkan kebohongan, serta pikiran menyakiti.[butuh rujukan]
Dua rintangan
Literatur Mahāyāna sering kali menampilkan enumerasi dari “dua hal yang mengaburkan" (Wylie: sgrib gnyis), "rintangan pengotor batin" (Sanskrit: kleśa-avaraṇa, Wylie: nyon-mongs-pa'i sgrib-ma), dan “rintangan atas hal-hal yang dapat diketahui” (Sanskrit: jñeya-avaraṇa, Wylie: shes-bya'i sgrib-ma).[38]
Referensi
^Di luar hubungan etimologis antara kedekatan semantik kilesa dan upakkilesa (misalnya, lihat Rhys Davids & Stede, 1921–25, hlm. 139, entri untuk upakkilesa di [1]), kumpulan Saṁyutta Nikāya yang direferensikan di bawah ini, yang berjudul "Kilesa-saṃyutta (SN 27), tidak menggunakan istilah "kilesa" dalam sutta sebenarnya. Namun, faktanya, upakkilesa.
Bodhi (2000), hlm. 1012–14, 1100 n. 273, secara khusus mencatat perbedaan leksikal antara kedua kata Pali ini dan memilih untuk menerjemahkan kilesa sebagai "kekotoran (defilement)" dan upakkilesa sebagai "kerusakan (corruption)."
Begitu juga, dalam Bodhi (2000), hlm. 1642, SN 47.12, upakkilesa diterjemahkan sebagai "kerusakan (corruption)", sedangkan, seperti yang ditunjukkan di bawah ini, dalam Bodhi (2005), hlm. 416, kata Pali yang sama (upakkilesa) dalam sutta yang sama diterjemahkan sebagai "kekotoran batin (defilement)."
Konsisten dengan Bodhi (2005), seperti yang terlihat di bawah ini, Thanissaro (1994) juga menerjemahkan upakkilesa sebagai "kekotoran batin."
Istilah saṅkilesa yang terkait juga diterjemahkan sebagai "kekotoran batin (defilement)" oleh Bodhi (misalnya, 2000, hlm. 903–4; 2005, hlm. 55–6), Thanissaro (2004) dan Rhys Davids & Stede (1921-5, entri untuk "Saṅkilesa").
Dalam SN 22.60 (Bodhi, 2000, hlm. 903–4), saṅkilesa dikontekstualisasikan: "Dengan terpikat pada [rupa.jasmani/materi], [makhluk] terpikat olehnya, dan dengan terpikat olehnya mereka menjadi kotor." Dalam sutta ini, saṅkilesa disandingkan dengan pemurnian (visuddhi) yang dikontekstualisasikan dengan: "Mengalami rasa jijik [dalam sifat ketidakkekalan dari kenikmatan jasmaniah], [makhluk] menjadi tidak bergairah, dan melalui ketidakbergairahan mereka dimurnikan."
^Secara khusus, saṃyutta ini mengontekstualisasikan kilesa dalam konteks enam "landasan indra" (āyatana) internal dan eksternal dan pengotor mentalnya (enam kelas kesadaran, kontak, perasaan, dan nafsu-keinginan, lihat bagian tentang "enam kelompok-enam"), enam "unsur" utama (dhātu, mahābhūta), dan lima "gugusan" (khandha).
^SN 27.1 (terj. Thanissaro, 1994). Perhatikan bahwa frasa yang diterjemahkan Thanissaro sebagai "pencemaran kesadaran (defilement of awareness)" di sini adalah cetaso upakkileso; Bodhi (2000), hlm. 1012, menerjemahkannya secara sederhana sebagai "kerusakan mental (mental corruption)" (garis bawah ditambahkan untuk kejelasan).
^Lihat Rhys Davids & Stede (1921–5), hlm. 216–7, entri untuk "Kilesa," diambil 2008-02-09 dari "University of Chicago" pada [2].
^Terjemahan dari Bodhi (2005), hlm. 416. Bodhi (2005, hlm. 417, 457 n. 58) menyatakan bahwa ini berasal dari SN 47.12, juga DN 16 dan DN 28. Frasa yang mirip dapat ditemukan di DN 28, dll.
^Rhys Davids & Stede (1921–5), hlm. 217; dan, Nyanatiloka (1988), entri untuk "kilesa," diakses 2008-02-09 dari "BuddhaSasana" di [3]. Diarsipkan 2012-03-28 di Wayback Machine.
^Selain referensi yang sering terdapat dalam Abhidhamma dan kepustakaan Pali pasca-kanonis, referensi untuk akar-akar yang tidak baik (akusala-mūla) juga ada di beberapa bagian Sutta Piṭaka. Misalnya, dalam Dīgha Nikāya, "akar tidak baik" dapat ditemukan dalam DN 33 (D iii.215) dan DN 34 (D iii.275); dalam Majjhima Nikāya, "akar tidak baik" merupakan topik pertama dari beberapa topik yang dibahas oleh Yang Mulia Sāriputta dalam Sammādiṭṭhi Sutta ("Diskursus tentang Pandangan Benar," MN 9) yang terkenal; dan, dalam kitab Itivuttaka, sebuah khotbah singkat tentang tiga akar yang tidak bajik memulai "Bagian Tiga" (Iti. 50). Akan tetapi, tidak ada dari teks-teks Sutta Piṭaka ini yang menyebutkan tiga akar yang tidak baik yang disebut sebagai kilesa. Hubungan semacam itu tampaknya dimulai dalam teks-teks Abhidhamma.
^Sasanasubhasita. "Pohon Kekotoran Batin". www.sasanasubhasita.org (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2024-08-10.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 660-1, "Sakkāya" entri. Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-09), menjelaskan sakkāya-diṭṭhi sebagai "teori atas jiwa, bidaah individualitas, spekulasi atas keabadian atau hal lain mengenai individualitas seseorang." Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.179, menerjemahkannya sebagai "pandangan identitas"; Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "pandangan atas kepribadian"; Harvey (2007), hlm. 71, menggunakan "pandangan-pandangan dalam kelompok yang ada"; Thanissaro (2000) menggunakan "pandangan-pandangan identifikasi-diri"; dan, Walshe (1995), hlm. 26, menggunakan "kepercayaan-pribadi."
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 615, "Vicikicchā" entri. Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-09), menjelaskan vicikicchā sebagai "keraguan, kebingungan, ketidakpastian." Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.179, Gethin (1998), hlm. 73, dan Walshe (1995), hlm. 26, menerjemahkannya sebagai "keraguan." Thanissaro (2000) menggunakan "ketidakpastian." Harvey provides, "kebimbangan atas tanggung-jawab kepada tiga perlindungan dan nilai kehidupan" (cf. M i.380 dan S ii.69-70).
^Sebagai contoh, lihat: Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 713, entri "Sīla". Diarsipkan 2012-07-18 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mengenai konsep serupa atas sīlabbatupādāna (= sīlabbata-upādāna), "pencengkeraman atas pekerjaan dan ritual (grasping after works and rites)." Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.179, menerjemahkan istilah ini sebagai "pencengkeraman menyimpang atas peraturan dan sumpah (the distorted grasp of rules and vows)"; Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "pelekatan pada peraturan dan sumpah (clinging to precepts and vows)"; Harvey (2007), hlm. 71, menggunakan istilah "pencengkeraman atas peraturan dan sumpah (grasping at precepts and vows)"; Thanissaro (2000) menggunakan "pencengkeraman atas peraturan dan pelaksanaan (grasping at precepts & practices)"; dan, Walshe (1995), hlm. 26, menggunakan "keterikatan atas ritus dan ritual (attachment to rites and rituals)."
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 654, entri "Vyāpāda". Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mendefinisikan vyāpādo sebagai "berlaku buruk, berbuat jahat: keinginan untuk melukai, kedengkian, keinginan buruk." Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.179, Harvey (2007), hlm. 71, Thanissaro (2000), dan Walshe (1995), hlm. 26, menerjemahkannya sebagai "keinginan buruk" ("ill will") Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "keengganan" ("aversion").
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 574-5, entri "Rūpa". Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mendefinisikan rūparāgo sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam rūpa" ("lust after rebirth in rūpa"). Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu atas bentuk" ("lust untuk form"). Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "keinginan atas bentuk" ("desire untuk form"). Thanissaro (2000) menggunakan "gairah atas bentuk" ("passion untuk form"). Walshe (1995), hlm. 27, menggunakan "pengidaman atas keberadaan dalam alam kehidupan materi" ("craving untuk existence in the Form World").
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 574-5, entri "Rūpa". Diarsipkan 2012-07-12 di Archive.is (diakses 2008-04-09), menyarankan bahwa arūparāgo dapat dijelaskan sebagai "nafsu setelah kelahiran kembali dalam arūpa" ("lust after rebirth in arūpa"). Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.180, menerjemahkannya sebagai "nafsu atas ketidakadaan bentuk" ("lust untuk the formless"). Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "keinginan untuk keadaan tanpa bentuk" ("desire untuk the formless"). Harvey (2007), hlm. 72, menggunakan "keterikatan atas bentuk murni atau alam-alam tanpa bentuk" ("attachment to the pure form or formless worlds"). Thanissaro (2000) menggunakan "keinginan untuk apa yang tidak berbentuk" ("passion untuk what is formless"). Walshe (1995), hlm. 27, menggunakan "pengidaman atas keberadaan di alam nonmateri" ("craving untuk existence in the Formless World").
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 528, entri "Māna". Diarsipkan 2012-07-11 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mendefinisikan māna sebagai "kebanggaan, kesombongan, keangkuhan" ("pride, conceit, arrogance"). Bodhi (2000), hlm. 1565, SN 45.180, Thanissaro (2000) dan Walshe (1995), hlm. 27 menerjemahkannya sebagai "kesombongan" ("conceit"). Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan "kebanggaan" ("pride"). Harvey (2007), hlm. 72, menggunakan "kesombongan 'ke-Aku-an'" ("the 'I am' conceit").
^Untuk membedakan antara belenggu pertama, "pandangan atas diri" dan belenggu ke delapan "kesombongan," lihat, contoh:, SN 22.89 (trans., Thanissaro, 2001).
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 136, entri "Uddhacca". Diarsipkan 2012-07-13 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mendefinisikan uddhacca sebagai "melampaui-keseimbangan, pergolakan/agitasi, kegirangan, kebingungan, tergesa-gesa" ("over-balancing, agitation, excitement, distraction, flurry"). Bodhi (2000), hlm. 1565 (SN 45.180), Harvey (2007), hlm. 72, Thanissaro (2000) dan Walshe (1995), hlm. 27, menerjemahkannya sebagai "kegelisahan" ("restlessness"). Gethin (1998), hlm. 73, menggunakan istilah "pergolakan/agitasi (agitation)."
^Rhys Davids & Stede (1921-25), hlm. 85, entri "Avijjā". Diarsipkan 2012-07-07 di Archive.is (diakses 2008-04-09), mendefinisikan avijjā sebagai "ketidaktahuan; akar buruk utama dan kelahiran kembali yang terus menerus" ("ignorance; the main root of evil and of continual rebirth"). Bodhi (2000), hlm. 1565 (SN 45.180), Gethin (1998), hlm. 73, Thanissaro (2000) dan Walshe (1995), hlm. 27, menerjemahkannya sebagai "ignorance." Harvey (2007), hlm. 72, menggunakan "ketidaktahuan spiritual" ("spiritual ignorance").
^ abSesungguhnya, dalam kerangka ini, kitab Visuddhimagga (Vsm. XVII, 298) tidak secara eksplisit mengidentifikasi "kelahiran" (jāti) dan "penuaan-kematian" (jarāmaraṇa) dengan hasil/resultan (vipāka). Meskipun demikian, dalam paragraf sebelumnya (Vsm. XVII, 297), Buddhaghosa menulis: "Dan di masa depan, lipat-lima buah: lima yang dimulai dengan kesadaran. Ini diungkapkan dengan istilah 'kelahiran'. Akan tetapi, 'penuaan-dan-kematian' adalah penuaan dan kematian dari [lima] ini sendiri" (Ñāṇamoli, 1991, hlm. 599, v. 297; tanda kurung siku dalam aslinya). Dengan demikian, "kelahiran" dan "penuaan dan kematian" menjadi korelasi atau ekspresi dari urutan "hasil/resultan" lipat-lima.
^Lihat "putaran penderitaan, putaran tindakan, putaran pengotor batin" di kitab parakanonikaNettipakaraṇa (dukkhavaṭṭo kammavaṭṭo kilesavaṭṭo) (Nett. i.95)."Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-19. Diakses tanggal 2008-07-16.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Guenther, Herbert V. & Leslie S. Kawamura (1975), Mind in Buddhist Psychology: A Translation of Ye-shes rgyal-mtshan's "The Necklace of Clear Understanding." Dharma Publishing. Edisi Kindle, 321.
^Dorje, Jikdrel Yeshe (Dudjom Rinpoche, penulis), diterjemahkan dan disunting: Gyurme Dorje dan Matthew Kapstein (1991). The Nyingma School of Tibetan Buddhism: Its Fundamentals and History. Boston, USA: Wisdom Publications. ISBN0-86171-199-8, hlm. 107 (Enumerations).
Daftar pustaka
Bodhi, Bhikkhu (2000). The Connected Discourses of the Buddha: A Translation of the Samyutta Nikaya. Somerville, MA: Wisdom Publications. ISBN 0-86171-331-1.
Harvey, Peter (1990/2007). An introduction to Buddhism: Teachings, history and practices. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-31333-3.
Ñāṇamoli, Bhikkhu & Bhikkhu Bodhi (2001). The Middle Length Discourse of the Buddha: A Translation of the Majjhima Nikāya. Somerville, MA: Wisdom Publications. ISBN 0-86171-072-X.
Rhys Davids, C.A.F. ([1900], 2003). Buddhist Manual of Psychological Ethics, of the Fourth Century B.C., Being a Translation, now made for the First Time, from the Original Pāli, of the First Book of the Abhidhamma-Piṭaka, entitled Dhamma-Sangaṇi (Compendium of States or Phenomena). Kessinger Publishing. ISBN 0-7661-4702-9.
Walshe, Maurice O'Connell (trans.) (1995). The Long Discourses of the Buddha: A Translation of the Dīgha Nikāya. Somerville: Wisdom Publications. ISBN 0-86171-103-3.